Follow Me @aoifideco

@aoifideco

Sabtu, 25 Agustus 2012

A Worth-It Waiting (13)


Aku berjanji akan selalu bersamamu, baik di saat susah, di saat senang, saat sakit, saat sehat, dan sampai maut memisahkan kita



“Belum sebulan kepergian Kyoko. Sekarang giliran Akira. Ya Tuhan... Apakah ini semacam ujian kepada kami?” Tante Harumi berkata lirih saat melihat anak laki – lakinya dibawa ke ruang perawatan.

“Untung ada Akane. Terima kasih, ya, Akane. Entah apa jadinya kalau Akira hanya pulang sendirian tadi,” kata Paman Yamato.

Aku cuma bisa duduk lemas setibanya di klinik. Setelah tiba di sini, aku langsung menghubungi orangtua Akira-kun, Wataru, dan orangtuaku (kalau aku pulang terlambat).

“Bukan aku, tapi Tuhan yang menjaga Kak Akira. Kalaupun aku nggak ada di situ, Tuhan pasti juga menjaga Kak Akira,” kataku sambil menerawang.

Orangtua-nya tersenyum. “Iya, itu benar. Oh, dokternya sudah keluar,” Paman Yamato mengajak kami untuk mendatangi si dokter.

Dokter itu tersenyum. “Anak Anda baik – baik saja. Hanya perlu obat merah, betadine, dan tensoplas untuk menyembuhkannya. Oh, dan juga es batu 8) Sekarang dia sedang tidur,” kata beliau menenangkan kami.
“Terimakasih, Tuhan...” Tante Harumi mengucap syukur. Kemudian beliau mengajak suaminya untuk kembali ke lobi.





Otoosan, Okaasan...” terdengar suara Akira-kun dari balik pintu. Tante Harumi dan Paman Yamato langsung masuk ke dalam kamar.



“Akira! Apa yang terjadi? Kenapa badanmu bisa banyak memar begini?!” tanya mereka langsung.

Akira-kun tersenyum lemah. “Aku nggak apa – apa, kok. Tadi ada segerombolan orang yang menghajarku karena berlagak sok di depan mereka. Padahal, mereka telah melukai dan merampok sepasang suami istri di dekat jalan yang kulalui bersama dengan Akane,” jawab Akira-kun.

“Apa itu benar, Akane?” tanya Paman Yamato. Dan aku mengangguk.

“Oh, ya. Kalau nggak salah, anak tetangga kita juga terlibat dalam peristiwa itu. Sekarang orangtuanya sedang berada di kantor polisi,” tambah Tante Harumi.



“Ehm, aku ingin berbicara dengan Akane,” kata Akira-kun, “boleh, kan?”


Orangtuanya tersenyum. “Baiklah, Nak. Kami akan kembali ke lobi,” kata Paman Yamato sambil mengajak istrinya keluar.



-*-


“Maaf.”

Itu kata pertama yang diucapkan Akira-kun.


“Karena aku, Akane-chan jadi repot juga,” katanya sambil menggaruk – garuk kepalanya.

Aku menggeleng. “Oh, nggak. Nggak apa – apa, kok. Aku senang bisa menolongmu J” kataku sambil tersenyum.


“Dan terimakasih, karena kamu telah menolongku,” Akira-kun menggenggam tanganku. Dia tersenyum senang.

“Bagaimana denganmu? Apa kamu nggak apa – apa?” tanyanya. Wajahnya terlihat cemas.

Aku menjawab dengan terus tersenyum, “Nggak, aku baik – baik saja, kok. Dan, terimakasih. Saat kamu terluka-pun, kamu tetap melindungiku dari mereka.”

Dia tertawa. “Aku sudah janji pada kakakmu, bahwa aku akan melindungimu,” katanya.


“Bukan karena kalau Akira-kun nggak melindungiku, nanti persahabatan kalian putus?” tanyaku (duh, introgasi :\)



Akira-kun menggeleng. “Bukan. Dari hatiku sendiri, aku memang ingin melindungimu.”


Kalimat yang barusan diucapkannya membuat jantungku berdebar lebih keras dari biasanya. Oi oi...


“Tapi kenapa?” aku masih ingin tahu jawabannya.




Dia menarik nafas, dan kemudian menjawab,
“Karena aku mencintaimu.”



DEG


Rasanya jantungku ingin melompat ke bawah :X



“Orang yang mencintai seseorang, pasti nggak akan membiarkan dia menderita, kan? Begitu juga denganku. Aku nggak akan membiarkan orang lain melukaimu, Akane-chan,” lanjutnya.


Aku, kok jadi ingin menangis, sih? L Ya ampun... Seorang cowok yang lagi sakit begini menembakku?!



“Dulu aku hanya sebatas menyukaimu (oh, begitu ya -__-). Dan jujur, rasanya aku ingin marah saat kamu menolakku.


Tapi, sekarang aku sadar. Kamu menolakku karena kamu memang menahan diri, kan? Kamu masih ingin berteman dulu, dan baru akan memutuskan keputusanmu beberapa tahun lagi. Akane-chan persis dengan Kyoko. Dia memang sedang menyukai seseorang, walaupun terakhirnya aku baru mengerti kalau dia menyukai Pak Kirishima. Kyoko bilang, kalau dia akan mengungkapkan perasaannya kalau dia sudah mau kuliah. Tapi sepertinya, dia sudah bilang duluan... Beberapa saat sebelum dia pergi...”


Baru kali ini Akira-kun berbicara panjang lebar seperti itu. Dan sayangnya, aku nggak bisa menyuruh air mataku untuk berhenti keluar.



“Akane-chan, aku senang karena kamu mau mengenalku beberapa hari ini. Kamu tahu, dari situlah aku mendapat inspirasi tentang cita – citaku,” katanya lagi.
Aku memiringkan kepala. “Hah? Inspirasi?” tanyaku heran sambil mengusap air mata.
“Pianis. Aku suka memainkan piano, dan sudah memainkan banyak lagu klasik. Kamu harus mendengarnya. Sudah lama aku nggak main piano, sejak aku masuk SMP. Tapi, sewaktu aku ketemu sama kamu lagi, aku jadi teringat cita – citaku yang dulu untuk jadi pianis. Dan bukan cuma itu, aku juga ingin membuat laguku sendiri,” jawabnya sambil tersenyum.


Ya ampun, aku jadi inspirasi kakak sahabatku...


“Kamu mau membantuku, kan? Untuk mewujudkan cita – citaku ini?” kata Akira-kun penuh harap.

“Sebelum itu,” kataku, “aku ingin ngomong sesuatu sama Akira-kun.”



Harus kuakui, aku masih ingin ngobrol banyak sama dia. Cuma, ada satu hal yang ingin kuungkapkan padanya...


“Ehm... Awalnya, aku sama sekali nggak berminat untuk mengenal Akira-kun. Bahkan, dulu aku nggak suka sama Akira-kun,” kataku (mengakui).


Mata hitam Akira-kun membesar. Tapi dia tersenyum. “Lanjutkan, Akane-chan.”


“Dan, aku sama sekali nggak tahu kalau ternyata Akira-kun nggak seburuk yang kukira. Saat Kyoko sudah nggak ada lagi, aku melihat bahwa Akira-kun benar – benar menyayangi Kyoko. Waktu itulah aku sadar, bahwa ternyata Akira-kun memang sayang sama keluarga.
Terus, waktu aku mengajak Akira-kun ke mall... Sebenarnya, waktu itu aku sedang melaksanakan janjiku pada Kyoko, untuk menjaga Akira-kun. Aku ingin lebih mengenal, siapa sih, kakak Kyoko itu.

Dan tadi, waktu ada cowok yang berusaha menyentuhku, Akira-kun berusaha untuk melindungiku. Aku tahu dari situ, bahwa Akira-kun akan melakukan apapun untuk melindungi orang yang Akira-kun sayangi...,” kataku panjang lebar.


“Bukan cuma disayangi, Akane-chan,” potong Akira-kun, “tapi yang dicintai J

Aku melanjutkan, “Aku ingin kita hanya menjadi sahabat. Setidaknya untuk saat ini. Akira-kun mau menungguku, kan?”



Akira-kun mengangguk. “Aku akan menunggu sampai kapanpun,” janjinya.


“Dan, oh ya. Aku akan membantumu untuk meraih cita – citamu J” kataku.


Genggaman Akira-kun terasa sangat lembut, kemudian dia melepaskannya dan berkata, “Thankyou, my dear. I’ll always waiting for you. In the happiness, in the sadness, when you’re ill, when you’re in health, until the death separate us.” – mengutip janji pernikahan :3



Harus kuakui, kata – katanya membuatku sadar bahwa aku harus tetap bergumul di dalam mencari pasangan hidup. Tapi, terimakasih, Akira-kun. Kakak mau menungguku.


Tuhan, aku ingin memiliki pasangan hidup yang sesuai dengan kehendak-Mu. Agar di dalam keluarga kami, nama-Mu semakin dimuliakan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar