I'm back again! :) Lagi-lagi nongol di waktu yang tak terduga. Hehe. So, here is the story of my essay's competition, yang kemudian membuahkan tulisan ini (fix, aku pengen ngerubah esaiku -.- hahaha).
Beberapa
waktu yang lalu, aku mengikuti sebuah lomba esai yang diadakan kampusku—dalam
rangka memperingati hari kesehatan mental sedunia. Tema esainya adalah suicidal thoughts—pikiran-pikiran yang
bisa berujung pada bunuh diri. Wah, ngeri ya, temanya? ._. Akupun mulai mencoba
mencari-cari jurnal maupun artikel yang memuat tentang suicidal thoughts. Tidak disangka, aku menemukan.. *jeng jeng* sebuah judul lagu dari
Biggie Smalls—seorang penyanyi rap yang hidup di tahun 1972—1995. Begitu
membaca liriknya, aku speechless. “Gilakk, ini beneran lagu? Isinya itu lho,
penuh caci-maki,” pikirku waktu itu.
Karena
penasaran, aku segera mencari biografi Biggie Smalls. Well, orang bilang kalau lagu adalah ungkapan hati, dan itu pun
berlaku di lagu ini. Hidup Biggie Smalls sangat kelam. Dia lahir tanpa figur
ayah, menjual narkoba bersama temannya ketika remaja, married by accident, dituduh membunuh rekannya, dan dia meninggal
karena tembakan. Bisa jadi karena hidupnya yang demikian, Biggie Smalls menulis
Suicidal Thoughts dengan penuh
caci-maki—merasa hidupnya tidak berarti dan sebagainya (kalian bisa search di Google. I don’t lie).
--**--
Aku
harus jujur, awalnya aku tidak ingin sharing
tentang hal ini sebelum pengumuman lomba esai itu diumumkan (nggak berharap
menang, sih. Tapi kalo menang, aku akan sangat bersyukur hehe). Tapi entah
kenapa, dorongan untuk menuliskannya semakin kuat—apalagi saat aku membaca postingan seorang teman tentang perasaannya
bahwa hidupnya tidak berharga. Semakin ditahan, dorongan itu semakin menguat.
Akhirnya, keluarlah tulisan ini. Okay,
back to the topic.
Sebelum
membahas cara menghilangkan suicidal
thoughts dari benak kita, kita harus tahu seperti apa suicidal thoughts itu. Beberapa di antaranya adalah pemikiran
bahwa:
a.
hidup kita tidak berharga
b.
kita hanya bisa menyusahkan orang lain
c.
kita tidak memiliki kemampuan seperti orang lain
d.
tidak ada gunanya kita dilahirkan, dst.
Mungkin
kalau pikiran seperti ini muncul sekali-dua kali, kita bisa beranggapan, “Ah, itu wajar. Aku kan, tidak sehebat si A
di bidang ini. Aku kan, tidak sepintar si B di bidang itu...”. Tapi
bagaimana kalau hidup kita hanya berisi tentang membandingkan diri kita dengan
orang lain? Lalu justru berujung ke arah pikiran seperti yang telah disebutkan
di atas? Jangan salah, Iblis bisa memakai celah itu untuk menjatuhkan kita!
Sadarlah dan berjaga-jagalah!
Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan
mencari orang yang dapat diterkamnya.
(1 Petrus 5:8)
Saat
menuliskan ayat di atas, aku teringat dengan kisah Petrus dan Yudas Iskariot
menjelang penyaliban Yesus. Kita tentu ingat saat Petrus menyangkal Yesus
sebanyak tiga kali—sesuai perkataan-Nya saat Perjamuan Terakhir (lihat Lukas 22:34, 61—62). Kita tentu juga
ingat saat Yudas Iskariot mengkhianati Yesus, dengan menjual-Nya seharga tiga
puluh uang perak kepada imam-imam dan tua-tua (lihat Matius 26:14—16, 27:3—5). Persamaannya adalah, mereka adalah murid
Yesus yang “membiarkan”-Nya disalibkan. Petrus menyangkal Yesus karena takut
ikut dihukum, sedangkan Yudas menyerahkan Yesus setelah dia menciumnya—sebagai
kode bagi para pasukan untuk menangkap-Nya.
Tapi
yang membedakan adalah ada-tidaknya pertobatan dalam hidup mereka.
Petrus
menyadari bahwa dia bersalah setelah dia menyangkal Yesus. Ada penyesalan dalam
hati Petrus, bahkan saat Yesus menatapnya setelah dia menyangkal-Nya. Aku
berpikir, bahwa Iblis bisa memakai celah itu untuk menjatuhkan Petrus: “Nah, Yesus benar, kan? Kamu akhirnya
menyangkali-Nya. Kamu bukan murid yang taat. Kamu pengecut!...”. Memang
tidak diceritakan bagaimana pergumulan Petrus setelah Yesus disalibkan. Tapi
yang mengejutkan, ketika Yesus bangkit dan menampakkan diri-Nya kepada para
murid untuk kesekian kalinya, Dia meminta Petrus untuk menggembalakan
domba-domba-Nya. Setelah bertanya tiga kali tentang
apakah-Petrus-mengasihi-Yesus (sesuai jumlah sangkalan Petrus terhadap Yesus),
Yesus memintanya untuk menggembalakan domba-domba-Nya dan mengikuti Dia (Yohanes 21:15—19). Dan Petrus
menaati-Nya. Dia pun setia memberitakan Injil Tuhan, sampai akhirnya dia mati
disalib terbalik—Petrus merasa tidak layak untuk disalib seperti saat Yesus
disalib. Pertobatannya membuahkan hasil yang menakjubkan, salah satunya adalah
Injil yang tersebar di mana-mana.
Bagaimana
dengan Yudas Iskariot? Kita tahu bahwa setelah melihat Yesus diadili, Yudas
merasa bersalah. Dia mengembalikan uang tiga puluh perak itu kepada para imam
dan tua-tua—yang kemudian mereka tolak. Merasa tidak sanggup menahan penyesalan
dan tekanan hebat dalam dirinya, Yudas memilih untuk gantung diri. Aku cukup
yakin bahwa Iblis ada di balik peristiwa gantung diri itu. Seandainya Yudas
memilih jalan yang sama dengan Petrus, tentu dia juga akan menjadi rasul yang
memberitakan Injil bersama orang-orang percaya lainnya.
“Apa hubungannya antara suicidal thoughts dengan dua murid Yesus itu?”
Hubungannya
adalah pikiran yang memenuhi benak mereka setelah mengalami sebuah peristiwa
luar biasa (mengerikan). Suicidal
thoughts bisa berkembang seperti yang dialami Yudas Iskariot, atau justru
berkurang drastis seperti Petrus. Kuncinya ada pada pertobatan dan cara pikir
kita tentang bagaimana-Tuhan-memandang-kita. Ya, seandainya kita memiliki suicidal thoughts, kita perlu mengakui
bahwa kita memiliki pemikiran demikian. Kemudian, mintalah pertolongan Tuhan
untuk menuntun kita agar kita memiliki pikiran positif. Pikiran positif ini
salah satunya dengan cara bersyukur atas hidup kita. Your life is precious, no matter what’s going on. Kasih Tuhan tetap
sama, dan bukankah pengurbanan-Nya di kayu salib lebih dari cukup untuk
menggambarkan kasih-Nya kepada kita?
“Tapi itu nggak cukup! Aku masih sering
kepikiran kalo aku ini nggak berharga, jelek, nggak punya kemampuan apa-apa...”
Aku
harus mengakui bahwa kadang aku berpikir kemampuanku tidak sebanyak orang lain
:) Dan pemikiran seperti itu sulit dipatahkan, apalagi aku orang yang
perfeksionis. Lagi-lagi, ingatlah bahwa Tuhan menciptakanmu dengan banyak
talenta. Bersyukurlah untuk itu, dan terus kembangkan! Kalau ada orang yang
bilang bahwa karyamu jelek—atau apapun itu, yang bersifat
menjatuhkanmu—ingatlah bahwa di situ kamu harus lebih mengembangkan talentamu.
Tidak ada yang instan di dunia ini, termasuk setiap karya yang kita buat.
“Gimana kalo dua cara di atas nggak berhasil?”
Nikmatilah
hidup dengan apa yang kita punya :) ketika kita bisa melihat, mencium bau,
mendengar, mencecap rasa, dan merasakan apapun di kulit kita... itu juga
kemampuan yang Tuhan berikan untuk kita. Mendengarkan musik yang kita sukai,
selalu berpikir “aku bisa melewati ini
bersama Tuhan”, membaca buku, berjalan-jalan, menulis, dan sebagainya. Itu
bukan hal yang sulit, kan? Bahkan Daud menulis:
Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena
kejadianku dahsyat dan ajaib;
ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku
benar-benar menyadarinya.
(Mazmur 139:16)
*FYI,
salah satu perikop favoritku adalah Mazmur 139. Perikop ini selalu
mengingatkanku bahwa aku istimewa di hadapan Tuhan, bahkan saat aku berpikir I’m nothing :)*
“It
still doesn’t work! Aku masih berpikir
gini dan gitu!”
Aku
tidak tahu apa yang harus dilakukan di sini selain berkonsultasi kepada orang
yang bisa kita percayai. Entah itu pendeta, konselor, psikolog, pembimbing
rohani, atau siapapun itu. Dengan bercerita, beban yang kita pikul akan terasa
lebih ringan. Aku sudah berulang kali melakukannya—terutama saat aku merasa
lelah dan tak berdaya hehe—dan itu berhasil :) jangan lupa, selalu berdoa dan
minta perlindungan Tuhan dari kuasa Iblis yang berusaha menjatuhkan kita!
Tetaplah
bersukacita, bahkan saat beban hidup terus menerpa hidup kita. Percayalah,
beban yang kita pikul tidaklah lebih berat daripada yang bisa kita tanggung :)
(1 Korintus 10:13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar