Follow Me @aoifideco

@aoifideco

Rabu, 20 Juni 2012

A Worth-It Waiting (8)


Selama dia masih ada, doakanlah agar dia dipakai-Nya. Ketika dia telah pergi, doakanlah keluarganya, agar mereka dikuatkan

Oyee~ sudah sampai yang ke-8!! ^^ Dan nggak terasa bahwa aku sudah jadi murid SMA (y)


Sudah satu minggu sejak aku menengok Kyoko. Seharusnya, hari ini dia pulang. Pulang ke rumahnya di Tokyo.

Kriinggg~ #telepon

“Akanee~!!” Otoosan memanggilku. Tapi ada kesan aneh dalam nadanya. Sepertinya dia sedang cemas...

Aku mengangkat telepon. Wataru.


“Ada apa Kak?” tanyaku langsung. Yang ditanya terdiam sejenak, lalu menjawab,
“Akane, aku nggak tahu harus bilang apa...”
Aku mendengus, “Kak, kalau nggak tahu harus bilang apa, kenapa repot – repot meneleponku?”

Wataru terdiam. Sepertinya dia sedang mencari kata – kata yang tepat.

“Kyoko baru saja tiba di Tokyo...”

Aku membelalakkan mata. Kyoko kembali!! :D aku sudah sangat senang, sampai Wataru melanjutkan,



“Tapi dia langsung diopname di rumah sakit.”


Glek

Lalu, buat apa dia pulang ke sini, kalau tiba – tiba kondisinya langsung drop begitu?!  pikirku heran, cemas, gelisah, dan sebagainya.

“Dia sudah tiba di sini dengan selamat. Yang menjemputnya tadi Akira. Kyoko dan Akira sudah sampai di rumah mereka. Pada saat itulah, ada asap yang berjibun di sekitar mereka. Dan sangat banyak! Masker yang dipakai Kyoko nggak sanggup untuk menahan mereka. Akhirnya, dia langsung drop.”


Masukkan rasa syok di sini.

Aku mencoba menghubungi Kana, setelah menutup telepon dari Wataru barusan. Setelah mengirim SMS untuk Kana, aku berusaha untuk menghubungi rumah Kyoko.

“Kyoko berada di rumah sakit, Akane. Aku juga baru saja kembali dari sana. Kondisinya tiba – tiba memburuk,” Kak Akira mengulangi info terbaru yang diberikan Wataru barusan.

Ring a ding a dosies!!

Aku sudah berada di rumah sakit. Kamu di mana?” – Kana

-*-

Di rumah sakit, aku melihat Wataru yang melihatku dengan cemas, disusul dengan Kana, dan orangtua Kyoko.
Sebisa mungkin aku mencari taksi yang kebetulan lewat di depan rumah, menuliskan memo untuk orangtuaku, dan bergegas ke sini.

“Dokter bilang, Kyoko masih hidup,” Tante Harumi berkata sambil setengah terisak. Paman Yamato – ayah Kyoko – berusaha sebisa mungkin untuk tenang, sambil menepuk – nepuk bahu istrinya dengan lembut.
“Tapi kita tetap harus siap dengan kondisi terburuk,” tambah Kana muram.
Wataru menepuk – nepuk bahu Kana. “Tenang saja, Kana. Percayalah bahwa dia akan baik – baik saja..,” katanya.

Kana melihatku. “Kamu tampak pucat, Akane. Mau makan sesuatu?” tanyanya cemas.

Aku menggeleng. Tidak. Aku nggak mau apa – apa sampai Kyoko bisa kembali sehat.

Paman Yamato berkata padaku, “Akane, ayo duduk di sini. Paman akan melihat keadaan Kyoko.” Dan beliau-pun pergi dari lobi.
Aku duduk di samping Tante Harumi. “Bagaimana kondisi Kyoko, Tante?”
Tante Harumi menjawab, “Masih hidup saja, Tante sudah bersyukur. Ternyata, Kyoko sudah nggak bisa tinggal di Tokyo lagi. Terlalu padat penduduknya, dan terlalu banyak asap yang berbahaya bagi tubuhnya.”

Kana memberiku sandwich isi daging ham. Aku benar – benar khawatir tentang Kyoko, sampai – sampai aku lupa untuk makan siang ini. Ya ampun...

“Terima kasih, Kana,” aku menggigit sandwich itu, sambil bergumam kecil.

Sandwich isi ham. Aku ingat karena ini adalah makanan favorit Kyoko. Ya ampun! Aku ini kenapa, sih?! Kenapa semua hal hari ini selalu berkaitan dengan Kyoko?!

“Akane,” Wataru memanggilku, “aku mau pulang dulu. Kamu masih tetap di sini, kan?”
Aku mengangguk kecil. “He’eh. Hati – hati di jalan ya,” jawabku.

Dan Wataru-pun menghilang dari pandangan.

“Nih,” Kak Akira menghampiriku dan memberiku teh gelas. “Kamu bisa kena dehidrasi kalau nggak minum sesiang ini,” katanya.

Apa benar sesiang ini aku belum minum sama sekali? Seburuk itukah keadaanku, yang mengkhawatirkan keadaan sahabatku?”

“Trims,” aku menyahut pelan dan mengambil teh gelas itu. Teh gelas kesukaan Kyoko. Dia selalu membeli minuman ini di kantin...

Seorang suster keluar dari kamar Kyoko. Dia menghampiri Tante Harumi, dan berkata bahwa sang dokter ingin berbicara dengannya. Tapi masa bodoh. Aku, Kana, dan Kak Akira membuntuti Tante Harumi.
Di depan kamar Kyoko, aku melihat Paman Yamato sedang melihat Kyoko yang masih belum sadar. Tapi yang jelas, dia masih hidup. Itu terlihat dari monitor yang menunjukkan detak jantung Kyoko.

Kemudian sang dokter berbicara pada kami.
“Kondisi anak Anda tidak begitu baik. Paru – parunya memiliki lendir. Dalam kedokteran, kami menyebutnya paru – paru basah. Dan penyakit ini lebih parah daripada pneumonia,” kata dokter sambil mengusap kacamatanya.

Aku melirik ke arah Kyoko. Paru – paru basah?! Nggak mungkin! Kok, bisa?!

“Lalu bagaimana sekarang? Apa cara yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan Kyoko?” bisik Paman Yamato, melihat anak perempuan satu – satunya.

Dokter menjawab, “Dioperasi. Hanya itu satu – satunya cara.”

Dioperasi?!” Tante Harumi langsung menjerit histeris, “tidak! Tidak operasi! Aku nggak mau Kyoko dioperasi lagi!!”

Paman Yamato langsung memegang tangan istrinya *wao, aku rasa, bekerja sebagai konselor anak – anak memang sangat berpengaruh pada beliau*.
“Jangan takut! Apapun yang terjadi pada Kyoko, kita harus terima! Hidup harus terus berjalan, Harumi!” kata Paman Yamato, berusaha menguatkan Tante Harumi. Dan Tante Harumi memegang kencang tangan Paman Yamato.

“Lakukan yang terbaik, dokter. Kami mohon,” kata Paman Yamato, sambil mengajak kami kembali ke lobi.

-*-

Aku hanya bisa menyatukan tangan, memejamkan mata, lalu berdoa. Tuhan, Kyoko salah satu sahabat terbaikku. Aku hanya berharap, kalau Tuhan masih ingin dia hidup, pakai dia di dunia ini. Kalau Tuhan ingin dia pulang, kuatkan keluarganya...

Dan di kepalaku, yang  terdengar hanyalah suara monoton dari monitor penunjuk detak jantung... Entah ini firasat atau bukan, tapi yang jelas, dokter sudah menemui kami, dengan ekspresi yang tidak bisa digambarkan.



“Maaf...”


Sudah jelas bahwa Kyoko tidak tertolong.

Dan yang bisa kulihat adalah, Kana memelukku dengan keras, Kak Akira meninju tembok di dekatnya, dan Paman Yamato memeluk Tante Harumi yang kembali menangis.

Aku melihat dokter itu. Seolah meminta kepastian. Dokter itu menggeleng.

Kyoko telah pergi.

Dan sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah menangis. Menangis karena Kyoko pergi, menangis karena senang... Senang karena Kyoko telah bebas... Bebas dari sakitnya.
Hidup harus berjalan terus! Paman Yamato berkata begitu, beberapa saat sebelum Kyoko pergi.

Yah... Hidup harus berjalan, hidup nggak bisa mundur. Hidup harus berjalan maju.
Aku melihat ke arah salib yang tergantung di dinding. Tuhan, terimakasih. Untuk Kyoko, dan kekuatan baru buat kami...

-*-

“Akane...”
Wataru menyapaku yang baru saja sampai di rumah. Okaasan dan Otoosan melihatku dengan sedih.

“Aku tahu. Aku tahu. Yah... Dia pergi. Dia nggak ada lagi di dunia ini...” aku menjawab sambil berusaha menahan air mata.

Otoosan membelai rambutku. “Kami sedih, Akane. Tapi kamu tahu? Kami lega, karena Kyoko telah bebas dari penyakitnya,” kata Otoosan.

“Dan kami tahu, bahwa keluarga Kyoko pasti dikuatkan,” kata Okaasan bijak.

Yah... Kyoko, terimakasih untuk semuanya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar