Keesokan harinya, Akira-kun menelponku
lagi. Tepat saat itu, Wataru sedang pergi; orang tuaku sedang ke restoran
mereka.
“Moshi-moshi?”
sapaku, berusaha menenangkan jantungku yang terus berdebar kencang.
Akira-kun berkata, “Akane-chan..
Minggu depan aku berangkat.”
Aku tersentak. Minggu depan!? Bukannya
dia bilang padaku bahwa dia akan berangkat ke Amerika 2 minggu lagi??
“Bukannya 2 minggu lagi Akira-kun?”
kataku kaget. Akira menghela nafas, lalu melanjutkan,
“Dosenku memintaku agar aku bisa
berangkat minggu depan. Entahlah, dosenku punya firasat buruk kalau aku nggak
berangkat minggu depan.”
Aku cuma terdiam. Dan tak terasa, air
mataku mulai meleleh.
“Akane-chan, kamu masih di situ
kan..?” suara Akira-kun mulai terdengar khawatir. Oh, jangan sampai dia tahu
kalau aku menangis. Tapi bodohnya, yang terjadi justru sebaliknya.
“Iya, aku.. aku masih di sini,”
jawabku dengan pelan, menahan isak.
“Maafkan aku Akane-chan.. Kamu
menangis ya, gara-gara ini?” tanyanya. Dan tangisanku mulai nggak bisa
dikendalikan lagi.
Akira-kun terdiam beberapa saat. Lalu
dia bertanya, “Kamu keberatan kalau aku ke rumahmu sekarang?”
-*-
Aku berhasil menghapus air mataku
sebelum Akira-kun tiba di rumah. Karena yang ada di rumah cuma aku, maka aku
mengajaknya duduk di ruang tamu (takut kalau kenapa-napa hehe).
“Aku minta maaf ya, Akane-chan, buat
yang tadi,” kata Akira setelah dia duduk di depanku.
Aku menggelengkan kepala. “Nggak,
bukan salahmu kok, Akira-kun,” jawabku, “entah kenapa, aku nggak bisa
mengontrol emosiku sewaktu mendengar kabar itu.”
Aku
belum siap melepasmu minggu depan, Akira-kun..
“Nggak apa-apa,” katanya, “itu wajar,
Akane-chan. Kalau aku boleh bilang pun... aku juga belum siap untuk pergi
minggu depan.”
Aku
belum menjawab pengharapanmu selama ini, Kak.
“Akira-kun,” aku berkata pelan,
mencoba memegang jarinya seolah-olah mencari sesuatu yang bisa membuatku merasa
lebih baik.
Dan anehnya, dia juga melakukan hal
yang sama denganku. Aku tersentak saat Akira-kun menggenggam tanganku dengan
lembut, seperti genggaman seorang kakak yang selalu ingin melindungi adiknya.
“Should
I say the answer now?” tanyaku kepadanya.
Dia menatapku, tersenyum, “Kalau kamu
memang udah siap menjawabnya, nggak apa-apa. Tapi kalau kamu belum sanggup buat
bilang, hm... aku akan tetap menunggumu, Akane-chan.” Lalu dia mendesah pelan.
Tapi
aku tahu bukan itu yang kamu mau, Akira-kun. Kamu udah terlalu lama buat
nungguin jawabanku, dan itu semua gara-gara keegoisanku!
“Aku udah buat kamu nungguin selama 5
tahun, Kak. Aku... aku nggak bisa buat menahan perasaan ini sendirian. Hubungan
kita udah menggantung selama itu. Dan... aku nggak mau membuatmu menunggu lebih
lama lagi,” kataku padanya.
Wajahku terasa hangat. Air mata yang
selama ini kutahan langsung keluar setelah aku berkata begitu. Tak lama
kemudian, Akira-kun mengusap air mataku dengan pelan.
“Kak...” aku memanggilnya, mencoba
untuk tidak menangis lagi.
Akira-kun memandangku lembut, dan
berkata, “Aku nggak janji nggak akan membuat kamu menangis karena aku, tapi aku
janji buat nggak membiarkanmu menangis terlalu lama di depanku.”
Entah ada sesuatu yang berdesir di
hatiku. Sesuatu yang selalu membuatku betah berada di dekatnya, mengobrol
dengannya, tertawa bersamanya... Okay,
I’ll tell him about my feeling now.
“Akira-kun,” kataku sambil memegang
tangannya yang masih mengusap pipiku.
“The
answer for your waiting is... yes.”
Awalnya dia nggak tahu apa maksudku. Tapi
akhirnya, dia tersenyum lebar. Aku balas tersenyum ke arahnya. Penantian kami
selama 5 tahun ini nggak sia-sia.
“Kalau aku boleh tahu... kenapa kamu
mau bilang ‘ya’, Akane-chan?” tanyanya.
Aku menurunkan tangannya dari wajahku,
tetap menggenggamnya dan berkata, “Karena ada banyak hal yang aku alami selama
aku mengenalmu. Sejak aku bersahabat denganmu, aku belajar banyak hal tentang
dirimu dan diriku sendiri. Orang tuaku bilang, aku jadi lebih baik sejak kamu
menjadi sahabatku. Bukan cuma itu, aku belajar banyak tentang Tuhan dan
bagaimana harus menjaga kekudusan hidupku. Arigatou
gozaimasu, Akira-kun.”
Dia melihat tangan yang digenggamnya,
kemudian berkata, “Me too. Aku juga
belajar banyak tentang kasih tanpa syarat sejak aku bersahabat denganmu,
Akane-chan. Arigatou gozaimasu,
Akane-chan.”
“Tapi...” kataku tiba-tiba, “apa
sampai saat ini kamu masih menganggapku sebagai pengganti Kyoko?”
Akira-kun terdiam. Aku juga ikut
membisu, tidak menyangka bahwa pertanyaan seperti itu bisa kulontarkan. Apa sih yang ada di pikiranmu, Akane??
“Tidak,” Akira-kun kembali bersuara.
Aku menengadahkan kepalaku ke arahnya, melihatnya meringis.
“Now
I wish that you’ll be my life partner, Akane-chan,” tambahnya.
Aku tersenyum kecil mendengar
pengakuan Akira-kun. Lalu dia berkata, “Ehmm... dari dulu, setelah kepergian
Kyoko, aku berharap bisa mengelus kepala adik perempuan lagi. Bolehkah aku..
uhm, melakukannya padamu?”
“Hah? Kok tahu-tahu kamu tanya gitu,
Kak?” tanyaku heran. Membiarkan cowok
untuk mengelus kepalaku?? Yang benar saja!
“Entah, aku cuma pengen bisa ngelakuin
itu aja. Nggak akan sering-sering kok, santai aja. Aku tahu, kamu bukan tipe
orang yang bahasa kasihnya physical touch,”
katanya.
Aku meringis, “Tapi kamu tipe orang
yang bahasa kasihnya pyhysical touch
hahaha... Hm, nggak apa-apa kok. Janji lho, cuma sekali-kali aja ngelakuinnya,”
ujarku (mempersiapkan diri #lhoh)
Dia kemudian mengulurkan tangannya,
mengelus kepalaku dengan lembut sebanyak dua kali, and watching me with.. with.. love :$ aku cuma bisa terdiam, tersenyum
saat dia melakukannya.
Entah kenapa aku merasa bahwa
perlakuan ini bukan seperti perlakuan seorang cowok ke pacarnya. Tapi lebih ke
arah seorang kakak yang menyayangi adiknya. Oh,
Tuhan... aku nggak menyangka akhir ceritanya bakal kaya’ gini... thank You, God, for our love story.
TIN! TIN!
Otoosan
dan Okaasan pulang! :O
Aku dan Akira-kun langsung keluar
untuk menyambut mereka. Okaasan kaget
saat melihat Akira-kun ada di rumah kami.
“Akira kok bisa di sini, Akane??
Kalian habis ngapainn??” tanyanya langsung.
Aku menggeleng cepat. “Bukannn, bukan
melakukan hal yang buruk, Okaasannn,”
kataku langsung.
“Akane baru aja bilang yang
sebenarnya, Tante,” kata Akira-kun.
“Ooohhh,” Okaasan langsung sadar, tertawa dan berkata, “Akira, kamu makan
siang bersama kami ya. Kalian harus cerita tentang apa aja yang terjadi selama
kami pergi tadi. Hahaha...”
“Ibumu memang suka memaksa ya, Akane,”
kata Otoosan tiba-tiba, “tapi aku
senang, akhirnya anakku ini bisa ketemu orang yang tepat, yang seiman dan
sepadan denganmu, Akane.”
Aku cuma nyengir, “Nggak juga, Otoosan. Kalau kalian nggak
menyemangatiku, aku nggak akan bilang. Dan mungkin Kak Akira bakal nungguin aku
terus hehe.”
“Okee! Kita harus masuk sekarang! Aku
akan buatkan yakiniku untuk kita
semua! Sayang sekali, Wataru baru pulang 2 jam lagi,” kata Okaasan, mengajak kami semua masuk ke rumah.
Lord,
thanks for leading me and him to know You more and more :) let this love story being a blessing for others.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar