Follow Me @aoifideco

@aoifideco

Rabu, 22 Oktober 2014

A Worth-It Waiting (14)

Walaupun tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa kaupercayai, percayalah bahwa aku mencintaimu. Sepenuh hatiku. – Mia Clark (Sunshine Becomes You)


“Hei, aku tidak yakin kalau kau mau mencoba permainan itu.”

Suara Akira-kun membuatku tersadar, dan mengalihkan pandanganku dari wahana itu.

“Memangnya kenapa?” tanyaku sambil tersenyum, “kau takut, ya, Akira-kun?”

Akira-kun menggeleng. “Tidak, bukan itu. Aku tidak ingin mendengarmu berteriak paling kencang saat roller coaster itu turun dari tanjakannya,” jawabnya sambil menyeringai.

.__. “Kita lihat saja nanti. Ayolah, temani aku, ya J” aku berusaha merajuk padanya, meski itu kulakukan sambil tersenyum kecil.

Akira-kun pura-pura mendesah, tapi dia tertawa. “Oke, aku akan menemanimu.”

-*-

Sudah 5 tahun sejak kami kehilangan Kyoko, dan sejak saat itulah aku mulai mengenal Akira-kun.
5 tahun bukan waktu yang sebentar. Dan dari situlah, kami belajar untuk menjadi sahabat satu sama lain. Oke, kurasa kalimat terakhir itu harus dikoreksi. Kami belajar untuk saling percaya dan berbagi satu sama lain.

“Kau melamun lagi, Akane-chan.”
Akira-kun menyadarkanku untuk yang kesekian kalinya. Entah kenapa, hari ini aku sering melamun setiap memikirkannya. Itu bukan berarti aku menyukainya. Bukan! Aku merasakan sesuatu yang lebih dari itu.


“Maaf,” aku tersenyum kecil. “Kurasa aku melamun karena memikirkan seseorang,” kataku. Yang kupiikirkan adalah dirimu.
“Oh,” dia tersenyum, “apa kamu memikirkan seseorang yang mengajakmu ke tempat ini? Dia memakai kacamata, dan sedang berdiri di depanmu?”

“Haha,” aku tertawa datar, “lucu sekali. Kamu menggambarkan dirimu sendiri, Akira-kun,” kataku sambil tersenyum lebar, mengingat Akira-kun yang memasang wajah polosnya, dan telihat bodoh karenanya.
Akira-kun tertawa. “Baguslah. Kamu terlihat ceria lagi, Akane-chan. Salah satu hal yang ingin kulihat di taman ini adalah wajah ceriamu.”

Aku memiringkan kepala. Apa yang dikatakannya barusan?
Apapun yang dikatakannya, itu membuat jantungku berdebar tak karuan. .__. Dan karena ia melihat reaksiku, dia malah membuat jantungku semakin berdebar-debar.

“Kau baik-baik saja, Akane-chan?” tanyanya sambil menempelkan telapak tangannya di atas dahiku. “Kamu kelelahan?”
Aku menggeleng. “Tidak. Aku baik-baik saja. Kurasa aku kehausan karena belum minum sejak 1 jam yang lalu,” jawabku sambil tersenyum, “terima kasih karena telah memperhatikanku.”

Akira-kun tersenyum. “Kau terkesan seperti Kyoko, Akane-chan. Dan kulihat, kau terlihat semakin dewasa sejak 5 tahun yang lalu,” katanya sambil menggandeng tanganku, dan mengajakku ke salah satu stand penjualan minuman.
“Terima kasih,” aku menjawab sambil meringis. Meringis karena terharu oleh kata-kata Akira-kun barusan, meringis karena teringat Kyoko–yang sudah tiada sejak 5 tahun yang lalu.

“Kau tahu,” Akira-kun berkata sambil memberikanku minuman soda yang ia beli, “kadang aku berpikir bahwa aku hanya bisa mencintai orang yang juga mencintaiku.”

Aku tersentak. Apa maksudnya? Apa jangan-jangan... Dia ingin meminta jawabanku? Jawaban yang sudah ia tunggu selama 5 tahun itu?

“Tunggu, jangan salah paham, Akane-chan. Aku belum ingin meminta jawabanmu. Aku hanya ingin berterima kasih padamu,” dia buru-buru menyela.
Aku memiringkan kepala. “Apa maksudmu? Jujur saja, Akira-kun, aku merasa heran dengan sikapmu hari ini. Pertama, kau mengajakku ke taman bermain ini, walaupun sudah tahu kalau aku punya janji dengan Kana. Kedua, kau bersikap agak protektif padaku, seolah-olah aku masih berumur 5 tahun :\” kataku dengan penuh rasa keheranan.

Akira-kun menjawab, “Tidak, aku punya alasan untuk itu.”
Sambil berjalan menjauh dari stand minuman, Akira-kun menjelaskan apa maksudnya.
“Maksudku, aku tidak ingin kehilanganmu. Kau tahu sendiri, bukan, belakangan ini ada penculikan yang terjadi di taman ini. Dan yang diculik bukan hanya anak-anak, tapi juga mahasiswi, sepertimu.
“Karena itu, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak kehilanganmu. Sudah cukup bagiku untuk kehilangan Kyoko. Dan aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku tidak mau kehilangan orang yang aku cintai untuk kedua kalinya..” dia menjelaskan dengan suara pelan, tapi aku bisa mendengar suaranya. Di tengah-tengah keramaian ini, suaranya terdengar sangat jelas.

Iya, aku tahu bahwa belakangan ini sering terjadi penculikan di taman bemain ini.Tapi, dia, kan masih bisa mengajakku ke taman bermain di tempat lain.

“Tapi kenapa kamu mengajakku ke sini? Padahal kamu sendiri tahu kalau di sini sudah terjadi banyak penculikan,” kataku heran.
Akira-kun mendesah. “Ini tempat terakhir kalinya aku sekeluarga pergi bersama. Sebelum Kyoko divonis terkena kanker paru-paru... Aku ingin mengenang masa-masa itu,” dia menjawab sambil menerawang. Memandang cakrawala yang tidak ada batasnya.

Dan entah kenapa, tiba-tiba aku mendapat ide. Ide yang cukup konyol untuk kami lakukan, tapi aku yakin bahwa Akira-kun menyukainya.

“Akira-kun, karena kau sudah mengajakku ke sini, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” aku berkata, sambil berharap bahwa dia setuju.
Dia tersenyum. “Boleh. Ke mana?”
“Sebelum itu,” aku berkata sambil tersenyum, “aku ingin berkata bahwa kau adalah orang kedua yang mengerti tentang diriku. Jadi, terimakasih.”

Senyum Akira-kun semakin mengembang. “Sama-sama. Aku juga senang kalau aku bisa mengerti dirimu.”

Tiba-tiba, aku merasa bahwa mukaku mulai memerah. Memikirkannya saja pasti membuatku seperti ini. Jadi aku segera menarik tangannya, dan mengajaknya ke pantai.

-*-

Tidak perlu hal-hal yang rumit untuk membuat seseorang yang kau cintai bisa merasakan kasih Tuhan.

“Wow...”
Warna jingga berpendaran di atas laut. Sementara itu, debur ombak membasahi batu karang yang berada jauh dari kami.
“Aku tahu.” Aku tersenyum, puas karena bisa melihat wajah Akira-kun yang puas terhadap pemandangan sore itu.

“Itu adalah sunset yang paling berkesan dalam hidupku. Terimakasih, Akane-chan,” dia tersenyum senang.
Aku meringis. “Sama-sama. Omong-omong, kenapa kau bisa berkata bahwa sunset ini adalah sunset paling berkesan dalam hidupmu?” tanyaku penasaran.
“Karena,” dia menggenggam tanganku, “aku bisa menikmati sunset ini dengan orang yang kucintai.”

Aku bisa merasakan bahwa wajahku semakin memerah dan panas. Bersyukur karena sinar matahari terbenam itu cukup menutupi semu merah di wajahku. Dan jantungku juga berdetak lebih kencang.

“Dan aku berharap, bahwa kamu akan menjawab apa yang kamu rasakan padaku. Cepat atau lambat.”
Aku tersentak. Tidak, aku belum bisa memberitahunya tentang jawabanku.

“Terimakasih,” aku tersenyum, “aku berharap bahwa aku akan mengatakannya padamu hari ini. Tapi... aku kehabisan kata-kata ketika kamu berbicara seperti itu barusan. Aku bersyukur karena aku bisa menghabiskan waktuku bersamamu. Karena dari situlah, aku belajar untuk membuka mataku terhadap sesamaku. Aku belajar untuk bergumul tentang pasangan hidup. Aku belajar juga bagaimana cara untuk mengampuni. Dan aku belajar bagaimana aku bisa untuk membuat orang yang kucintai agar tetap bahagia.”

Dia melihat tanganku yang ada di dalam genggamannya. “Aku senang, bahwa kau belajar banyak selama ini. Dan yah... Aku juga belajar banyak darimu. Belajar bagaimana caranya agar bisa membuat oang yang kucintai tetap tersenyum, belajar bagaimana menjaga intergritasku di hadapan Tuhan. Aku juga belajar agar tidak memikirkan kepentinganku sendiri. Dan aku juga belajar untuk bisa memuliakan Tuhan melalui hidupku,” Akira-kun berkata sambil memandangiku.

“Ayo, kita pulang. Dan Akane-chan, terimakasih lagi. Aku bersyukur karena bisa mengenalmu. Karena dari situlah, aku menyadari bahwa cinta-Nya padaku, padamu, dan juga pada orang lain itu tidak terbatas.”

Dia mengajakku menyusuri pantai, dan kemudian pulang ke rumah dengan naik shinkashen.

-*-
“Aku punya hadiah untukmu,” kataku, setibanya aku di depan rumah.
Akira-kun bertanya, “Apa?”

Aku tersenyum. “Lihat saja di atas meja tamu di rumahmu. Sampai jumpa Akira-kun. Terimakasih, karena telah membuat hari ini berwarna bagiku.” Aku berkata sambil memandanginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar