Aku nggak ngerti
sama jalan pikirannya Kak Fuyuki. Maksudku, kenapa sih dia ngaku – ngaku kalau
dia adalah Wataru – kakakku yang udah lama menghilang?
“Ehm, Akane.
Sori... Tadi entah kenapa aku jadi ngomong kaya’ gitu,” kata Kak Fuyuki saat
kami melewati jembatan yang terletak 3 rumah dari rumahku.
Aku mengangkat
bahu. “Nggak apa – apa, sih. Toh, kakakku itu memang udah pergi dari rumah 5
tahun yang lalu. Lupakan saja,” kataku sambil tersenyum kecil.
And Fuyuki speechless. Ha!
“Akane, apa
sampai segitunya kamu benci sama kakakmu sendiri?” tiba – tiba Kak Fuyuki
memegang bahuku.
(gantian) Aku
nggak bisa ngomong apa – apa. Oke, rasa bersalah memang ada di hatiku, tapi
jujur ya. Aku memang agak benci sama Wataru, mengingat semua sikapnya; termasuk
saat dia minggat setelah ngomong kasar pada orang tua kami.
“Sejujurnya,
sih... Iya,” aku menjawab dengan terpaksa. Dan, eh... Pegangan Kak Fuyuki pada
bahuku mulai mengencang.
“Akane, kamu
ini, kan adik tunggalnya. Dia sangat menyayangimu, kamu tahu sendiri, kan?
Memangnya apa yang membuatmu bisa ngomong kaya’ tadi?” tanya Kak Fuyuki lagi.
Oke, aku harus
jawab apa? Jujurkah, atau nggak? Ehm...
“Dia udah
ngomong kasar sama orang tuaku! Dia udah ngecewain hati mereka! Dan dia minggat
begitu saja dari rumah! Orang tuaku betul – betul nggak tahu harus bagaimana
lagi, Kak. Sampai sekarang, mereka masih trauma kalau melihat aku berada dekat
dengan cowok yang nggak begitu mereka kenal. Tolong jangan ngaku – ngaku
sebagai kakakku, Kak!!” jawabku sambil melihat ke arah sungai yang berada di
bawah jembatan.
Rasanya mau
nangis :(
“Akane, sori!
Aku nggak bermaksud buat bikin kamu nangis~” kata Kak Fuyuki yang *sepertinya*
melihat wajahku yang hampir menangis.
“Kamu kuantar
pulang dulu, deh. Orang tuamu ada di rumah?” tanyanya sambil menggandengku, dan
berjalan cepat ke arah rumahku.
Aku menggeleng.
“Mereka pergi ke restoran milik okaasan.
Mungkin 1 jam lagi mereka baru pulang,” jawabku pelan. Begitu selesai ngomong,
aku sudah sampai di depan rumah.
Kak Fuyuki
melihat jam tangannya. Kemudian, dia berseru,
“Ya ampun! Aku
lupa! 1 jam lagi ada pertemuan OSIS! Aduh...
Aku pulang dulu,
ya. Sori banget, Akane :O” kata Kak Fuyuki sambil melambaikan tangannya begitu
aku membuka gerbang rumah.
Aku tersenyum.
“Nggak apa – apa, kok. Maaf, kalau aku tadi agak marah sama Kakak,” kataku
sambil memegang besi yang ada di gerbang. Yang kuajak bicara tersenyum dan
kemudian berlari ke arah rumahnya.
-O0O-
Sebulan kemudian...
“Kyoko
Kanagawa!”
Pak Kirishima
sedang mengabsen kelas kami. Sementara itu, aku menengok ke kursi yang jadi singgasana
ketua kelasku itu. Masih kosong. Kosong sejak seminggu yang lalu.
“Aneh sekali. Ke
mana anak itu? Apa ada yang tahu ke mana Kyoko pergi?” tanya Pak Kirishima
sambil memandangi kami semua.
“Mungkin dia
di-DO sama kepsek XD” kata cowok A
“Nggak! Dia
pasti lagi liburan ke Cina. Tahu sendiri kan, dia kan kaya :\” kata cewek B
Kana menyikutku.
“Ehm... Mungkin dia sakit?”
Lupakan
pembicaraan – tentang – Kyoko hari ini. Aku langsung ke kelas Kak Akira begitu
jam istirahat tiba *omong – omong, Kak Fuyuki nggak kelihatan --"*
Dan apa yang
kutanyakan membuat Kak Akira langsung jadi pucat pasi.
“Sudah kuduga,
kalian pasti akan mencari – cari Kyoko,” katanya sambil bersandar di ambang
pintu kelasnya.
“Dia sakit.
Pneumonia.” Kak Akira terlihat lelah, gelisah, dan cemas.
Aku dan Kana
nggak bisa ngomong apa – apa selain, “HAH?”
“Sekarang dia
ada di Cina. Untuk pengobatan. Aku di rumah hanya bersama dengan nenekku. Orang
tua kami pergi bersama Kyoko,” tambah Kak Akira.
Jadi, A salah.
Kyoko nggak di-DO *lagian, mana mungkin anak baik seperti dia di-DO?*. B benar,
Kyoko memang ke Cina, tapi nggak liburan. Kana benar, Kyoko memang sakit#ini
ngapain sih?
“Kak, boleh tahu
nggak, sejak kapan Kyoko sakit?” tanya Kana.
“Sejak dia kelas
3 SMP. Kondisinya nggak begitu baik setelah ujian. Ternyata dia kena pneumonia.
Untung ketahuannya waktu tahap awal. Tapi nggak tahu kalau sekarang... Makanya
aku cemas kalau dia kenapa – napa.”
Jadi itulah
alasan kenapa Kak Akira bertanya padaku waktu aku ke kelasnya sebulan yang
lalu. Apakah Kyoko ada masalah atau nggak.
“Kak, kita
berdoa saja. Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik buat dia, kok :)” kataku
sambil berusaha menguatkan hati Kak Akira.
“:) Makasih,
Akane. Aku senang karena adikku betul – betul disayangi sama teman – temannya,”
kata Kak Akira sambil tersenyum.
-O0O-
“Akane, ada yang
mau kami bicarakan denganmu.”
Suara Okaasan memanggilku yang sedang berjalan
mengambil air di kulkas. Wajah Okaasan dan
Otoosan tampak serius. Ups.
“Ada apa?” aku
duduk di sebelah mereka sambil memikirkan apa yang akan mereka katakan. Apa
tentang nilaiku yang menurun, atau tentang kesibukanku yang berlebihan?
“Sweetheart, kakakmu kecelakaan.”
Suara Otoosan menggelegar bagaikan petir di
siang bolong.
“Otoosan, jangan bercanda deh :\” kataku
sambil tersenyum masam. Tapi Okaasan
menggeleng.
“Kami serius,
Akane. Wataru kecelakaan. Hari ini. Kami diberitahu oleh tantemu yang bekerja
sebagai perawat di rumah sakit,” kata Okaasan
meyakinkanku.
Aku membantah.
“Tapi, bukannya kalian nggak menganggap dia sebagai anak kalian lagi?! Dia, kan
minggat setelah ngomong kasar sama kalian...,” kataku penuh emosi#esmosi
“Akane,” Otoosan masih berusaha untuk sabar,
“walaupun dia begitu, tapi dia tetap anak kami, dia tetap kakakmu juga. Itu nggak
akan mengubah apapun.”
Dan aku langsung
menangis sejadi – jadinya
-O0O-
Kak, kamu nggak apa – apa, kan? Cuma itu yang
bisa kupikirkan sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Semuanya jadi terasa
dingin, suram, dan monoton.
Aku keluar dari
mobil sambil melihat rumah sakit tempat dia dirawat. Memang benar kata orang, “Rumah sakit bisa membuat hatimu gelisah.”
“Maaf, Suster.
Aku ingin melihat keadaan anakku, Wataru Haibara. Apakah dia baik – baik saja?”
tanya Okaasan pada suster yang berada
di bagian resepsionis.
“Oh, yang tadi
pagi kecelakaan ya? *suster ini terlalu kejam#kataku*” tanya si suster, “dia
baik – baik saja. Sekarang dia sudah bisa dijenguk,” jawabnya sambil tersenyum
manis.
Begitulah.
Akhirnya kami pergi ke ruangan yang dimaksud.
Di sana, Wataru
tampak tenang. Dia tidur pulas. Dan entah kenapa kakiku sama sekali
nggak bisa digerakkan.
“Akane, kamu
kenapa? Belum bisa ketemu sama Wataru?” tanya Otoosan saat aku *malah* berlindung di belakangnya.
“Nggak apa –
apa, kok. Dia baik – baik saja. Walaupun mungkin dia belum sadar...” kata Okaasan.
Aku menjawab,
“Bukan itu. Entah kenapa, dia sangat berbeda dari sebelumnya. Aku... aku nggak
bisa...” sementara itu, Otoosan berjalan
menuju ranjangnya.
“Wataru, bangun,
Nak :)” kata Otoosan sambil memegang
tangan kakakku.
Nihil.
“Tunggu, aku mau
di sini dulu. Bolehkah?” tanyaku sambil setengah memohon.
Orang tuaku
mengangguk. “Tentu. Kami akan pergi ke lobi. Setelah itu kita pulang. Otoosan akan menjaganya. Jangan lama –
lama, ya,” kata Okaasan, lalu
meninggalkanku berdua dengan Wataru.
KLEK#pintu ditutup
Aku duduk di
samping Wataru. Wajahnya penuh lebam. Apa mungkin dia terantuk aspal? Entahlah.
“Kakak, aku di
sini :’) Tolong bangun, Kak.”
Kata – kataku
terputus saat melihat jam tangan yang ada di meja di sampingku. Jam itu persis
dengan yang biasanya dipakai Kak Fuyuki. Eh...
Apa itu berarti
Kak Fuyuki memang Kak Wataru?
Yang benar saja! Nggak mungkin, deh! Aku mencoba
membantah pikiranku sendiri. Kemudian, aku melihat ke arah wajahnya. Eh...#lagi
DIA MIRIP BANGET
SAMA KAK FUYUKI!
Ya ampun.
Speechless. Nggak bisa ngomong apa – apa :\
“Ini betul –
betul Kak Wataru?” aku mencoba memanggil Wataru yang masih tertidur.
Nihil. Dia nggak
bangun.
Sekarang aku
harus gimana? Berteriak tepat di depan telinganya? Nggak mungkin. Dia masih
koma. Percuma aku menghabiskan suaraku hanya untuk membangunkannya.
Menangis? Sori,
itu bukan kebiasaanku.
Ehm...
Otakku terus
berpikir. Sementara itu, aku melihat hari mulai gelap. Ups.
Oke.
Apa dia bisa
bangun kalau aku melakukan ini?
Aku memejamkan
mata, lalu mulai bersuara.
“Above all powers, above all kings. Above all
nature and all created things. Above all wisdom, and all the ways of men. You
were here before the world began...”
Aku melihat
Wataru masih belum bangun. Jadi, aku melanjutkan,
“Above all kingdoms, above all thrones. Above
all wonders the world has ever known. Above all wealth, and treasures of the
earth. There’s no way to measure what You’re worth...”
Lama – lama aku
bisa nangis :( Susah banget menyanyi kalau mengingat orang yang kamu cintai
dalam keadaan sekarat.
“Crucified, laid behind the stone. He lived
to died, rejected and alone. Like a rose, trampled on the ground. You’ve took
the fall, and thought of me... Above all...”
Aku kembali
melihatnya. Dia masih tidur.
Aku memegang
tangan Wataru, dan berkata,
“Kak, cepat
pulang. Aku kangen sama Kakak :(“
Entah ini
betulan atau nggak, tapi tiba – tiba dia menggenggam tanganku, walaupun nggak sekuat
yang kukira.
“Akane?” dia
berbisik. Ia tersenyum lemah saat melihatku.
Masukkan rasa
lega, bahagia, dan bersyukur ke sini.
“Syukurlah.
Kakak sudah bangun :)” kataku sambil tersenyum, berusaha untuk nggak nangis.
“Maaf, ya Akane.
Selama ini aku nggak ada bersamamu. Aku tahu itu pasti melukai perasaanmu...,”
Wataru berkata sambil mengelus pipiku
“Nggak apa – apa. Toh, semuanya udah selesai, kan. Aku ingin kita nyanyi bareng
lagi, curhat, dan...,” kata – kataku terputus saat Otoosan dan Okaasan masuk
ke sini.
“Wataru~!!” Okaasan langsung memeluk Wataru,
sementara Otoosan tersenyum lega.
“Sekarang,”
katanya, “kita jadi keluarga utuh lagi.”
-O0O-
Annyeong haseyo! ^^
Maaf, aku lama banget nggak buat cerita ‘We’re Teens!’.
Banyak hal yang terjadi dan harus dilakukan. Termasuk tes RSBI dan ujian masuk SMA -___- Males banget deh~
Oke. Bagian ke-4 cerita ini memang sudah selesai. Tapi masih
ada yang harus diceritakan di bagian ke-5.
Yak! Cerita tentang Kyoko yang
sedang sakit di Cina. Dan apa yang akan dilakukan Akane dan Kana waktu
mengetahui sahabat mereka yang sedang sakit parah itu?
Kasih tahu nggak yaa~ :P wkwkwk~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar