Btw, ini cerita yang kukarang di sekolah (lagi) -- meski kepotong-potong, karena sebenarnya ini jadi tugas (yang nggak dinilai :P) hahaha~
Selamat membaca! -u-
Thanks to them,
who change my
opinions
about friendship,
family,
God,
and love...
...
“Bagaimana kondisi teman saya, Dok?!”
Dokter itu berusaha menenangkan Joseph. “Dia baik-baik
saja. Sepertinya dia mengalami tekanan mental yang cukup besar, di samping
kondisi tubuhnya yang lemah seperti itu,” katanya sambil tersenyum.
Sesudah dokter itu masuk ke ruang perawatan, Joseph hanya
bisa menyalahkan dirinya sendiri.
“Ini salahku. Seandainya aku tidak pindah ke sekolah ini,
dia tidak perlu mengalami tekanan sebesar ini.”
Dan laki-laki itu mulai menangis, sibuk menyalahkan
dirinya, dan terus memikirkan gadis itu...
--*--
Sinar matahari menembus jendela kelas
10-F. Harum bunga matahari memasuki kelas itu, bersamaan dengan masuknya wali
kelas mereka. Di samping wanita berusia tiga puluh tujuh tahun itu, berdiriliah
seorang laki-laki.
“Anak-anak,” wali kelas itu menepukkan
tangannya sebanyak tiga kali, meminta perhatian anak-anak yang masih sibuk
ngobrol dengan teman-teman mereka.
Dan yang terlintas di pikiran mereka
(saat melihat laki-laki itu, tentu saja) adalah seperti ini,
“Wow~ Ah, biasa aja, kali~” – grup Z
“Siapa ini?” – pengurus kelas
“Omoo~ Kelihatannya dia pintar ya.” –
para calon peraih 10 besar
“Waahh... Sasaran empuk, nih.” – grup
A
“Silahkan perkenalkan dirimu, Nak.”
Wali kelas mereka menyuruh laki-laki itu untuk memperkenalkan diri.
“Perkenalkan,” laki-laki itu
tersenyum. “Namaku Timothy Joseph. Aku telat masuk sekolah, karena ada beberapa
hal yang harus kuselesaikan. Mohon bantuannya.”
“Hei,” Stella memanggil Alexa yang
duduk di depan. “Dia teman sekelasku sewaktu di JHS dulu!!”
Alexa nyengir. “Ehm, ada yang suka
sama laki-laki di depan sana, nih,” kata gadis itu, kemudian tertawa kecil.
Stella menggembungkan pipinya. “Aku
bilang dia teman sekelasku sewaktu di JHS. Aku tidak bilang kalau aku
menyukainya, kan?”
“Barusan kamu sudah bilang,” Alexa
berkata. Dan dengan tangkas dia menghindari pukulan kecil Stella.
“Adakah orang yang kamu kenal di kelas
ini?” tanya si wali kelas pada Timothy Joseph.
“Omong-omong, siapa nama
panggilannya?” tanya Alexa penasaran.
Stella meringis. “Ha! Kamu suka sama
dia! Aku nggak akan memberitahumu :P.”
“Dasar,” Alexa bergumam sambil
menengok kembali ke depan.
“Ada satu, Ms.. Itu, yang duduk di
belakang gadis yang memakai kacamata merah,” jawab murid baru itu sambil
melirik sekilas ke arah Alexa.
Apa maksud si murid
baru itu? Kenapa dia melirikku tadi?
pikir Alexa heran. Belum pernah ada laki-laki yang meliriknya seperti itu. Eh,
entahlah. Apa, sih yang kupikirkan?!
Jangan memikirkan yang tidak-tidak, Alexa!! Alexa mencoba untuk kembali
berpikir jernih.
“Oh, maksudmu Stella, ya? Stella,
apakah kamu kenal dengannya?” tanya wali kelas mereka sambil menunjuk ke arah murid
baru itu.
Stella mengangguk. “Iya, Ms..”, dan
gadis itu segera menyikut Alexa. “Kalau ada sesi tanya jawab, kamu tanya saja
sama dia, siapa nama panggilannya.”
Alexa meringis. “Hei, tidak semudah
itu, tahu.”
Sesi perkenalan dengan murid baru itu
selesai dalam waktu 5 menit. Dan sayangnya, tidak ada sesi tanya jawab. Jadi,
Alexa harus bertanya sendiri pada murid baru itu.
“Semoga sukses, Alexa!” Stella
menyemangati Alexa, setelah kelas bubar. Alexa hanya meringis.
“Ehm, Timothy Joseph?” Alexa memanggil
murid baru itu sambil mencoba untuk tersenyum padanya. Yang dipanggilnya pun
tersenyum. “Ya?”
Langka sekali, ada
yang memanggil nama lengkapku,
pikir Joseph heran dan bercampur penasaran. Penasaran tentang gadis yang
memanggil nama lengkapnya barusan.
“Boleh aku tahu, siapa nama
panggilanmu?” tanya Alexa padanya.
Oh, ya. Tadi aku
belum menyebutkan nama panggilanku. Ini konyol, pikir Joseph lagi, dan menyadari
bahwa dirinya cukup bodoh (setidaknya saat ini).
“Nama panggilanku Joseph. Sebenarnya,
nama lengkapku Timothy Joseph Wellington. Oh, ya. Aku belum tahu namamu,” kata
Joseph sambil meringis.
Alexa tersenyum. “Namaku Alexa. Eunike
Alexa Zealend. Senang berkenalan denganmu, Joseph,” dia menyalami laki-laki
itu.
Joseph hanya bisa termangu. Gadis itu
unik. Jarang ada yang mau bersalaman dengannya, kecuali orang-orang
terdekatnya. Apa maksudnya ini?
Walau begitu, Joseph tidak peduli.
Selain gadis itu unik, dia juga memiliki ciri yang berbeda dari teman-temannya
yang lain. Entah apa ciri itu. Yang jelas, Joseph beranggapan bahwa Alexa
adalah seorang gadis yang menarik.
“Ngomong-ngomong, aku salah satu
pengurus di kelas. Kalau ada apa-apa, tanyakan saja padaku. Atau tidak, kau
bisa bertanya pada ketua kelas kita.”
Dan detik itu juga, Alexa langsung
tertohok. Apa yang kubicarakan? Kalau ada
apa-apa, tanyakan saja padaku? Ini konyol! Aku belum pernah berkata-kata
seperti itu pada laki-laki manapun, pikir Alexa syok. Syok karena terlalu
cepat untuk berkata-kata.
“Oke.” Dan anehnya, Joseph
menyetujuinya dengan senyuman. Senyuman yang belum pernah dilihat Alexa. Bukan
senyuman buas, atau senyuman licik, atau senyuman sinis... Tapi itu adalah
senyuman yang ramah. Bukan hanya itu,
gumam hati Alexa. Senyuman yang tulus,
ralat Alexa, sambil balas tersenyum pada Joseph. Dan berharap, bahwa senyuman
itu adalah senyuman pertama pada Joseph. Pada teman barunya. Di hari ke 7 di
sekolah yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar