Follow Me @aoifideco

@aoifideco

Senin, 08 Juli 2013

Alexa's School Diary (2)


“Wow,” Stella bergumam saat mendengar cerita Alexa keesokan harinya, “jadi kamu memanggilnya dengan nama lengkapnya? Itu unik sekali.”

Alexa mengangkat bahu. “Habis, aku tidak tahu nama panggilannya. Satu-satunya cara untuk memanggilnya hanya dengan memanggil nama lengkapnya, kan?”


Stella tertawa kecil. “Panggil nama depannya, dong Alexa. Hahaha...”

“Oh ya. Kenapa itu tidak terpikir di pikiranku ya?” Alexa mengeluh, “mungkin waktu itu aku sudah terlalu penasaran dengan nama panggilannya, hingga aku memanggilnya dengan nama lengkapnya.”


“Jadi,” Stella bertanya, “siapa nama panggilannya?”

“Apa-apaan ini? Mau mengujiku ya?” tanya Alexa sambil memiringkan kepalanya.

Stella meringis. “Aku cuma mau bertanya saja, kok. Jadi?” kata Stella.

“Joseph, kan?” jawab Alexa.



Darren –teman sebangku Joseph –berbisik kepada Joseph.

“Hei, kamu dipanggil guru, tuh,” bisik Darren.

Joseph yang sedari tadi hanya melihat ke arah Stella dan Alexa tersadar. “Maaf. Kenapa, Darren?”

Netbook-nya mati mendadak. Nah, kamu kan, anak dosen IT. Siapa tahu kalau kamu bisa menolong beliau,” jawab Darren.

Joseph mengerutkan dahi. “Memangnya aku terlihat seperti anak dosen IT? Yang benar saja. Tapi baiklah, akan kucoba menolong guru itu.” Dan dia berjalan ke meja guru dan mencoba memperbaiki netbook sang guru.



“Hahaha... Betul,” Stella tertawa kecil.

Alexa tidak mengerti dengan sikap Stella hari ini. Apa-apaan, sih? Kok, kelihatannya dia agak kurang beres, ya? batinnya.

“Anak-anak,” sang guru – yang netbook-nya sudah menyala kembali – memanggil para murid, “saya mau membagi kelompok untuk membuat presentasi tentang perangkat keras dan perangkat lunak di Ms. PowerPoint. Berhubung di sini ada 31 siswa, maka saya akan membentuk kalian menjadi 6 kelompok. Hm...”


Kemudian, sang guru membagi anak-anak menjadi 6 kelompok. Dan di akhir pelajaran beliau berkata,
“Oke, itu dulu yang bisa saya sampaikan. Tolong supaya kalian bisa mengumpulkan tugas kalian 2 minggu lagi. Sampai jumpa di pertemuan berikutnya.”


Sinar matahari memasuki kelas X-F. Di sebelah pintu kelas, kelompoknya Alexa sedang berdiskusi mengenai tugas ITC yang diberikan oleh sang guru barusan.


“Kapan kita mau mengerjakannya?” tanya Alexa.

Salah satu temannya menjawab, “Kita bagi tugas saja. Nanti dikumpulkan ke orang yang akan mendesain dan mengeditnya.”

Alexa mendapat bagian yang mendesain.

“Lalu, siapa yang akan mengedit?” tanya Alexa.

“Biar aku saja,” usul Joseph sambil mengacungkan jarinya.

Alexa mengangguk. “Ehm, kalau bisa data-data yang kalian peroleh diberikan pada Joseph paling lambat akhir minggu ini. Kalau tidak, aku akan kelabakan membuat desainnya,” kata gadis itu sambil meringis.

“Boleh, boleh. Tidak masalah kok,” jawab teman-temannya serentak.


Senin depannya, Alexa membawa netbook-nya ke sekolah. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap presentasi itu. Pikirannya sedang kalut ketika memikirkan ulangan-ulangan yang harus dihadapi selama seminggu kemarin.

“Joseph,” Alexa memanggil Joseph yang sedang menulis-nulisi bukunya, “aku perlu bantuanmu.”

Joseph mengangkat wajahnya dari buku itu, dan dia melihat Alexa sedang berdiri di depan mejanya.

“Bantuan untuk apa?” tanya laki-laki itu sambil tersenyum.

“Sebentar, aku akan menaruh tasku dulu,” jawabnya sambil segera menaruh tasnya di bangku yang berjarak 2 bangku dari tempat Joseph. Dan dia segera ke tempat Joseph sambil membawa netbook-nya.

“Bisakah kau menolongku untuk membuat presentasi minggu depan?” tanya Alexa pada Joseph.

Joseph mengangguk. “Tentu saja. Hei, aku suka gambarmu,” katanya sambil tersenyum saat melihat wallpaper di netbook gadis itu.

“Terima kasih. Aku masih dalam tahap belajar, kok,” kata gadis itu sambil tersenyum.

Sementara itu, Joseph melihat-lihat gambar lain dari kamera Alexa. Dia tertegun setiap melihat gambar miliki gadis itu.

“Tidak mungkin dia masih dalam belajar. Hm...,” Joseph tersenyum ke arah gadis itu, “kamu adalah gadis yang rendah hati, Alexa.”

Alexa meringis. “Terima kasih. Kamu juga murid yang cerdas,” kata Alexa sambil membuka presentasi di netbook-nya.



Joseph tidak tahu perasaan apa yang sedang dia rasakan saat ini. Perasaan ketika melihat Alexa yang sedang mengangguk-angguk kecil ketika mendengarkan penjelasan laki-laki itu, perasaan ketika melihat tangan gadis itu mulai mengutak-atik netbook-nya...

“Alexa,” panggil Joseph sambil mencoba menghiraukan perasaannya pada gadis itu.

Gadis itu menoleh dari netbook-nya, dan bertanya, “Ada apa, Joseph?”

Laki-laki itu hanya tersenyum sekilas, sambil menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin mendengar suaramu, kok.”

Dan seketika itu juga dia kehilangan kata-kata, sedangkan Alexa memiringkan kepalanya —pertanda bahwa ia tidak mengerti terhadap kata-kata Joseph barusan.

“Apa?” tanya Alexa keheranan.

Joseph menggoyang-goyangkan tangannya. “Tidak, tidak ada apa-apa, kok. Habis, dari tadi kamu kelihatan serius sekali saat membuat desain. Dan sama sekali tidak bersuara. Karena aku khawatir kalau seandainya kamu kenapa-napa, aku memanggilmu,” jawab Joseph kelabakan.

“Oh, begitu.” Alexa mengangguk-angguk, “terima kasih karena telah mengkhawatirkanku.” Gadis itu berkata dengan diiringi senyuman. Senyuman yang –entah kenapa— bisa membuat Joseph merasa lebih baik.

“Ini,” Alexa menunjukkan hasil pekerjaannya pada laki-laki itu. “Bagaimana?” tanyanya sambil memperhatikan wajah Joseph yang sedang melihat ke layar netbook gadis itu. Terlihat sangat jelas bahwa anak itu sangat cerdas. Semua orang yang melihatnya pertama kali pasti akan berpikiran hal yang sama, Alexa tahu pasti. Hanya saja, gadis itu juga melihat bahwa laki-laki itu juga punya sopan santun. Benar-benar seperti anak yang taat peraturan! pikir Alexa kagum.


“Wow,” gumam Joseph kagum, “keren sekali. Menurutku sih, ini sudah sangat bagus. Kau hebat, Alexa,” kata Joseph sambil meringis.

Alexa juga meringis lagi. “Terima kasih banyak,” jawabnya.

“Kelihatannya dari tadi kamu melihat ke arah wajahku terus, ya. Ada apa, sih?” tanya Joseph penasaran.

Alexa menggelengkan kepala. “Eh, tidak. Tidak ada apa-apa, kok. Soalnya dari wajahmu kelihatannya bahwa kamu anak baik,” jawab gadis itu (terlalu jujur).

“Tidak juga. Sewaktu SD aku pernah hampir berkelahi dengan salah satu teman SDku. Hahaha,” laki-laki itu tertawa.

Alexa juga tertawa saat melihat laki-laki itu. “Ups, hampir bel. Ehm, terima kasih ya, Joseph. Untuk bantuanmu tadi,” katanya sambil beranjak dari tempat itu.


Satu tekad telah tercipta di pikiran Joseph. Dia akan menjadi sahabat untuk Alexa, apapun yang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar