“Wow,” Stella bergumam saat mendengar
cerita Alexa keesokan harinya, “jadi kamu memanggilnya dengan nama lengkapnya?
Itu unik sekali.”
Alexa mengangkat bahu. “Habis, aku
tidak tahu nama panggilannya. Satu-satunya cara untuk memanggilnya hanya dengan
memanggil nama lengkapnya, kan?”
Stella tertawa kecil. “Panggil nama
depannya, dong Alexa. Hahaha...”
“Oh ya. Kenapa itu tidak terpikir di
pikiranku ya?” Alexa mengeluh, “mungkin waktu itu aku sudah terlalu penasaran
dengan nama panggilannya, hingga aku memanggilnya dengan nama lengkapnya.”
“Apa-apaan ini? Mau mengujiku ya?”
tanya Alexa sambil memiringkan kepalanya.
Stella meringis. “Aku cuma mau
bertanya saja, kok. Jadi?” kata Stella.
“Joseph, kan?” jawab Alexa.
Darren –teman sebangku Joseph
–berbisik kepada Joseph.
“Hei, kamu dipanggil guru, tuh,” bisik
Darren.
Joseph yang sedari tadi hanya melihat
ke arah Stella dan Alexa tersadar. “Maaf. Kenapa, Darren?”
“Netbook-nya
mati mendadak. Nah, kamu kan, anak dosen IT. Siapa tahu kalau kamu bisa
menolong beliau,” jawab Darren.
Joseph mengerutkan dahi. “Memangnya
aku terlihat seperti anak dosen IT? Yang benar saja. Tapi baiklah, akan kucoba
menolong guru itu.” Dan dia berjalan ke meja guru dan mencoba memperbaiki netbook sang guru.
“Hahaha... Betul,” Stella tertawa
kecil.
Alexa tidak mengerti dengan sikap
Stella hari ini. Apa-apaan, sih? Kok,
kelihatannya dia agak kurang beres, ya? batinnya.
“Anak-anak,” sang guru – yang netbook-nya sudah menyala kembali –
memanggil para murid, “saya mau membagi kelompok untuk membuat presentasi
tentang perangkat keras dan perangkat lunak di Ms. PowerPoint. Berhubung di
sini ada 31 siswa, maka saya akan membentuk kalian menjadi 6 kelompok. Hm...”
Kemudian, sang guru membagi anak-anak
menjadi 6 kelompok. Dan di akhir pelajaran beliau berkata,
“Oke, itu dulu yang bisa saya
sampaikan. Tolong supaya kalian bisa mengumpulkan tugas kalian 2 minggu lagi.
Sampai jumpa di pertemuan berikutnya.”
Sinar matahari memasuki kelas X-F. Di
sebelah pintu kelas, kelompoknya Alexa sedang berdiskusi mengenai tugas ITC
yang diberikan oleh sang guru barusan.
“Kapan kita mau mengerjakannya?” tanya
Alexa.
Salah satu temannya menjawab, “Kita
bagi tugas saja. Nanti dikumpulkan ke orang yang akan mendesain dan
mengeditnya.”
Alexa mendapat bagian yang mendesain.
“Lalu, siapa yang akan mengedit?”
tanya Alexa.
“Biar aku saja,” usul Joseph sambil
mengacungkan jarinya.
Alexa mengangguk. “Ehm, kalau bisa
data-data yang kalian peroleh diberikan pada Joseph paling lambat akhir minggu
ini. Kalau tidak, aku akan kelabakan membuat desainnya,” kata gadis itu sambil
meringis.
“Boleh, boleh. Tidak masalah kok,”
jawab teman-temannya serentak.
Senin depannya, Alexa membawa netbook-nya ke sekolah. Dia tidak tahu
apa yang harus dilakukannya terhadap presentasi itu. Pikirannya sedang kalut
ketika memikirkan ulangan-ulangan yang harus dihadapi selama seminggu kemarin.
“Joseph,” Alexa memanggil Joseph yang
sedang menulis-nulisi bukunya, “aku perlu bantuanmu.”
Joseph mengangkat wajahnya dari buku
itu, dan dia melihat Alexa sedang berdiri di depan mejanya.
“Bantuan untuk apa?” tanya laki-laki
itu sambil tersenyum.
“Sebentar, aku akan menaruh tasku
dulu,” jawabnya sambil segera menaruh tasnya di bangku yang berjarak 2 bangku
dari tempat Joseph. Dan dia segera ke tempat Joseph sambil membawa netbook-nya.
“Bisakah kau menolongku untuk membuat
presentasi minggu depan?” tanya Alexa pada Joseph.
Joseph mengangguk. “Tentu saja. Hei,
aku suka gambarmu,” katanya sambil tersenyum saat melihat wallpaper di netbook
gadis itu.
“Terima kasih. Aku masih dalam tahap
belajar, kok,” kata gadis itu sambil tersenyum.
Sementara itu, Joseph melihat-lihat
gambar lain dari kamera Alexa. Dia tertegun setiap melihat gambar miliki gadis
itu.
“Tidak mungkin dia masih dalam
belajar. Hm...,” Joseph tersenyum ke arah gadis itu, “kamu adalah gadis yang
rendah hati, Alexa.”
Alexa meringis. “Terima kasih. Kamu
juga murid yang cerdas,” kata Alexa sambil membuka presentasi di netbook-nya.
Joseph tidak tahu perasaan apa yang
sedang dia rasakan saat ini. Perasaan ketika melihat Alexa yang sedang
mengangguk-angguk kecil ketika mendengarkan penjelasan laki-laki itu, perasaan
ketika melihat tangan gadis itu mulai mengutak-atik netbook-nya...
“Alexa,” panggil Joseph sambil mencoba
menghiraukan perasaannya pada gadis itu.
Gadis itu menoleh dari netbook-nya, dan bertanya, “Ada apa,
Joseph?”
Laki-laki itu hanya tersenyum sekilas,
sambil menjawab, “Tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin mendengar suaramu,
kok.”
Dan seketika itu juga dia kehilangan
kata-kata, sedangkan Alexa memiringkan kepalanya —pertanda bahwa ia tidak
mengerti terhadap kata-kata Joseph barusan.
“Apa?” tanya Alexa keheranan.
Joseph menggoyang-goyangkan tangannya.
“Tidak, tidak ada apa-apa, kok. Habis, dari tadi kamu kelihatan serius sekali
saat membuat desain. Dan sama sekali tidak bersuara. Karena aku khawatir kalau
seandainya kamu kenapa-napa, aku memanggilmu,” jawab Joseph kelabakan.
“Oh, begitu.” Alexa mengangguk-angguk,
“terima kasih karena telah mengkhawatirkanku.” Gadis itu berkata dengan
diiringi senyuman. Senyuman yang –entah kenapa— bisa membuat Joseph merasa
lebih baik.
“Ini,” Alexa menunjukkan hasil
pekerjaannya pada laki-laki itu. “Bagaimana?” tanyanya sambil memperhatikan
wajah Joseph yang sedang melihat ke layar netbook
gadis itu. Terlihat sangat jelas bahwa anak itu sangat cerdas. Semua orang yang
melihatnya pertama kali pasti akan berpikiran hal yang sama, Alexa tahu pasti.
Hanya saja, gadis itu juga melihat bahwa laki-laki itu juga punya sopan santun.
Benar-benar seperti anak yang taat
peraturan! pikir Alexa kagum.
“Wow,” gumam Joseph kagum, “keren
sekali. Menurutku sih, ini sudah sangat bagus. Kau hebat, Alexa,” kata Joseph
sambil meringis.
Alexa juga meringis lagi. “Terima
kasih banyak,” jawabnya.
“Kelihatannya dari tadi kamu melihat
ke arah wajahku terus, ya. Ada apa, sih?” tanya Joseph penasaran.
Alexa menggelengkan kepala. “Eh,
tidak. Tidak ada apa-apa, kok. Soalnya dari wajahmu kelihatannya bahwa kamu
anak baik,” jawab gadis itu (terlalu jujur).
“Tidak juga. Sewaktu SD aku pernah
hampir berkelahi dengan salah satu teman SDku. Hahaha,” laki-laki itu tertawa.
Alexa juga tertawa saat melihat
laki-laki itu. “Ups, hampir bel. Ehm, terima kasih ya, Joseph. Untuk bantuanmu
tadi,” katanya sambil beranjak dari tempat itu.
Satu tekad telah tercipta di pikiran
Joseph. Dia akan menjadi sahabat untuk Alexa, apapun yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar