Klimaksnya
kubuat sewaktu ada soal ulangan Bahasa Indonesia XD
Teng! Teng! Teng!
Begitu bel pelajaran selesai
dibunyikan, aku segera menghampiri tempat duduk sahabatku. Dia duduk di bangku
di pojok kanan belakang, sedangkan aku duduk di kursi terdepan di pojok kanan.
Entah kenapa, kami yang biasanya duduk bersama jadi ‘lebih suka’ duduk bersama
dengan teman-teman yang lain. Well...
Nggak ada salahnya, kan?
Tapi bagiku, sikap Dean sekarang
sudah kelewatan. Dia pernah berkata padaku bahwa aku bukan siapa-siapa baginya.
Bahkan bukan sahabatnya.
Oh,
dear! Sahabat macam apa
dia itu?!
Oke. Aku memang bukan pacarnya. Kami
malah sudah bersahabat sejak berada di Taman Kanak-Kanak! Kenapa dia tega
banget, sih, merusak persahabatan kami selama ini?!
Baik. Sekarang aku sudah berada di
depan mejanya. Dan saat aku akan membuka mulutku, Dean sudah bersuara duluan,
“Aku sudah bilang, kan? Yang salah
itu aku, bukan kamu.”
Aku terdiam. Dia
menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berkata lagi, “Harusnya aku yang minta
maaf ke kamu. Kamu sama sekali nggak bersalah!”
“Tapi kelakuanmu itu yang nggak
masuk akal buatku, Dean!” aku memprotes kata-kata sahabatku itu.
Dean mengangkat bahu. “Aku merasa
bahwa kamu sudah terlalu ikut campur dalam urusan pribadiku,” jawabnya. Dan itu
membuatku semakin syok.
“Oke, anggaplah aku bukan
siapa-siapamu. Terserah kamu, Dean. Tapi bagiku, kamu tetaplah sahabatku. Kamu
tetaplah saudaraku,” aku berkata sambil membalikkan badan, dan pergi dari
hadapannya.
Bukan cuma sekali ini saja aku
bertengkar dengan Dean. Dalam seminggu, bisa saja kami bertengkar selama beberapa
hari. Lalu berbaikan lagi. Bertengkar lagi. Berbaikan lagi. Seolah-olah hal itu
sudah seperti siklus kehidupan saja.
Pernah suatu saat aku mengajaknya
ngobrol tentang pelajaran yang baru saja kami pelajari, tapi dia cuma bilang,
“Oh, gitu.”, “Hm.”, “Terus?”. Sebel nggak sih, kalau jawaban dari cerita
panjang lebarmu hanyalah sebanyak dua-tiga kata itu?
Dan rasanya mulut ini pengen nyampah
aja. Serius. Err... -___-
Christo melihatku pulang dalam
keadaan yang tidak biasanya (bisa dilihat dari tatapan matanya yang nggak
biasa). Dan dia langsung bertanya tanpa basa-basi,
“Kamu kenapa, Fan? Kok, kusut gitu?”
Aku tidak menjawab, merebahkan
badanku yang lelah ini ke sofa di ruang keluarga. Dan badanku serasa mau remuk
semua. Serba salah. Great.
“Fanny, kenapa pertanyaanku nggak
kamu jawab, sih?”
Dan Christo masih (berusaha)
mencecarku dengan pertanyaan. Dan kepalaku semakin pusing. Dan... Rasanya
tingkat kesabaranku sudah semakin menipis.
“Christo! Tolong jangan cecar aku
dengan pertanyaanmu! Aku capek! Aku ada masalah! Tolong jangan tambahi kepalaku
dengan pertanyaan nggak pentingmu itu!!” aku berteriak pada Christo.
Sedetik kemudian, aku tersadar
dengan kata-kataku yang (kelewat) keras. Sedangkan Christo terdiam. Entah
karena dia yang merasa bersalah, atau karena dia sedang memendam emosinya.
“Ayo, Fanny. Ikut aku,” katanya
sambil menarik tanganku. Aku sempat protes padanya, tapi dia tidak
menggubrisnya.
Setelah mengambil tas di ruang tamu,
ia mengajakku ke kafe yang ada di dekat rumah. Kafe yang dulu sering kudatangi
bersama Dean. Kenapa Christo mengajakku
ke sini? batinku semakin kesal.
Seorang pelayan menyambut kami, dan
mengantar kami untuk duduk di bangku di dekat jendela. Air mancur di dekatnya
(anehnya) membuatku merasa sedikit tenang. Ingat. Hanya sedikit. Tidak
sepenuhnya.
Dan seperti biasa, kata-kataku akan
kedengaran sangat tidak bermutu jika sedang bete. Seperti sekarang ini,
“Kata orang, kalau lagi bete, lebih
baik makan yang manis-manis aja. Atau coklat. Ehm, aku mau cappuccino latte sama es krim coklat,” kataku.
Christo (sebenarnya) ingin saja
mengacak-acak rambutku, kalau saja ia tidak melihat tatapan mataku yang
berkata, “Jangan ngomong macam-macam. Adikmu ini lagi bad mood.”
“Ehm, oke, Dik. Kamu menang, deh,”
Christo nyengir kecil, lalu berkata pada si pelayan,
“Aku pesan caffee latte saja.”
Setelah si pelayan itu pergi,
Christo berpindah tempat duduk. Pertamanya dia duduk di seberangku, tapi
sekarang dia duduk di sebelahku. Semakin
lama, dia membuatku semakin tersudut. Dan aku nggak suka ini.
“Jadi, kenapa kamu mengajakku ke
sini?” tanyaku, menyelipkan nada sarkatis di dalamnya.
Bukannya menjawab pertanyaanku, dia
malah balik bertanya, “Seharusnya aku yang bertanya padamu, Fanny. Kamu ini
kenapa?”
Aku memalingkan muka darinya. “Bukan
urusanmu.”
“Kalau kamu sedih begini, aku juga jadi
kepikiran.” Kata-kata Christo itu mulai bisa menjebol bendungan emosiku. Dan
dia memegang bahuku, sehingga aku menyerah padanya.
“Ini tentang Dean lagi.”
Christo melihatku dengan tatapan
seorang-kakak-yang-sedang-mendengarkan-cerita-adiknya. Dan itu membuatku
semakin teringat dengan Dean. Aku jadi salah tingkah di hadapannya.
“Ceritakan sebisamu saja, Fan,”
Christo berkata sambil tersenyum kecil.
Aku menarik nafas, lalu mulai
bercerita.
“Dean kembali jadi seperti sebulan
yang lalu, Chris. Dalam seminggu kami bisa bertengkar berulang kali, hanya
karena masalah sepele. Dan semakin lama, persahabatan kami semakin konyol saja.
Kami pernah duduk bersama beberapa kali, tapi setelah itu kami bertengkar
lagi.”
Christo mengangguk-angguk kecil. Tuhan, aku seperti merasa bahwa Dean ada di
depanku sekarang.
“Dia pernah marah-marah padaku
karena aku nggak membawa tugas kelompok kami. Padahal, jelas-jelas yang
dimintai tolong olehnya bukan aku,” lanjutku.
Dan
aku bisa merasakan, air mataku mulai mengintip.
“Aku nggak tahu harus bagaimana lagi
dengan persahabatan kami, Christo. Setiap ada masalah, dia pasti menyalahkanku.
Padahal, jelas-jelas dia yang salah,” aku berkata pelan, mencoba menahan air
mataku.
Tapi sialnya, air mata ini semakin
deras, dan Christo melihatnya. Ia mengambil tisu dari tasnya, dan mengusap air
mataku.
“Tenanglah, Fan,” katanya
menenangkanku, “semuanya akan baik-baik saja.”
Aku memandangi wajah kakakku itu –
seolah-olah meminta penjelasan darinya. Tapi dia hanya tersenyum dan berkata,
“Percayalah padaku.”
Si pelayan datang ke meja kami, dan
menyajikan pesanan kami. Setelah itu, ia pergi ke meja lain.
“Fanny, jangan nangis begitu dong.
Aku tahu kalau adikku bukan anak cengeng, ya kan?” Christo berkata padaku
sambil menggenggam tanganku. Dia menyodorkan minumanku.
Aku meminum cappuccino latte-ku dalam diam. Entah sudah berapa kali Christo
menghiburku dengan cara yang bermacam-macam, tapi ini pertama kalinya dia
mengajakku ke kafe ini hanya untuk membuat perasaanku jadi lebih baik.
“Lalu aku harus bagaimana?” aku
bertanya padanya.
Christo meminum caffe latte-nya, lalu berkata, “Katakan apa yang kamu inginkan kepada
Tuhan. Doakan itu sungguh-sungguh. Jangan mencari celah untuk bermusuhan dengannya. Dan jangan lupa. Ampuni
dia, sama seperti Tuhan telah mengampunimu.”
“Tapi itu sulit, Christo. Aku sudah
mencoba untuk mengampuni dia berulang kali, tapi efeknya tetap nggak kerasa!”
aku mengeluh, dan kembali mendengarkan gemericik air mancur di dekatku.
Christo menepuk bahuku, lalu aku
menoleh ke arahnya. Dia berkata dengan pelan, tapi aku bisa mendengar suaranya
di tengah-tengah kebisingan kafe ini,
“Fanny, aku pernah bilang kalau ‘Nggak
ada salahnya untuk mencoba’, kan? Cobalah untuk mengampuni Dean berdasarkan
kasih Kristus. Jangan memakai kekuatanmu sendiri. Kamu nggak akan kuat
melepaskan pengampunan itu, kalau kamu masih ngotot untuk mengampuninya dengan
kekuatanmu sendiri.”
Tes pertama hari ini = Fisika dan
Sejarah.
Aku mencari Dean di sekitar sekolah.
Nihil. Dia belum datang.
“Fanny! Kamu cari siapa sih?” tanya
seorang temanku saat aku kembali ke depan ruang tes.
“Hehe... Mencari temanku, kok,” aku
menjawabnya. Dan kembali belajar Fisika.
Dean datang, tepat 5 menit sebelum
bel masuk dibunyikan.
“Dean, aku ingin bicara denganmu.”
Aku berkata padanya dengan tegas.
Tidak memohon padanya untuk tetap bersahabat denganku. Tidak memelas padanya
untuk tetap jadi kakakku. Tidak.
“Aku cuma ingin bilang terima kasih.
Terima kasih, karena kamu telah mengisi hari-hariku selama ini. Terima kasih,
karena kamu telah mengajarkan banyak hal padaku. Terima kasih, karena kamu
telah mau menjadi seorang sahabatku. Dan, aku minta maaf jika selama ini ada
sikapku yang mungkin membuatmu sebal padaku.
Jujur, Dean... Aku pernah
membencimu. Tapi kakakku bilang supaya aku bisa mengampunimu. Setiap malam, aku
berdoa kepada Tuhan, agar aku tidak membencimu. Aku berdoa kepada-Nya, agar
setiap hari aku tetap dapat mengasihimu.”
Setelah aku berkata seperti itu,
Dean berkata padaku,
“Fanny, aku minta maaf padamu karena
sikapku belakangan ini telah menyakiti hatimu. Aku tahu kalau sikapku ini nggak
wajar, tapi memang akhir-akhir ini aku sedang dilanda banyak masalah...”
“Kenapa kamu nggak cerita sama aku?”
aku bertanya padanya.
Dean berbisik, “Karena aku nggak mau
kamu mendapat masalah setelah kamu tahu apa yang sedang kuhadapi.”
Aku mendesah pelan, lalu berkata
lagi, “Siapa tahu aku bisa bantu kamu... Tapi sudahlah. Kalau kamu memang nggak
mau bercerita padaku juga nggak apa-apa kok.”
Ketika aku berjalan masuk ke kelas,
Dean menarik tanganku.
“Setelah tes nanti, aku akan
bercerita padamu. Dan jangan khawatir, aku melakukannya karena aku memang ingin
melakukannya.”
Setelah dia menaruh tasnya di dekat
meja guru, dia tersenyum ke arahku. Dan dia (kelihatan) siap untuk menjalani
tes hari ini.
Danke,
Christo. Setidaknya
persahabatan kami akan pulih sebentar lagi. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar