Follow Me @aoifideco

@aoifideco

Sabtu, 26 Desember 2015

Ini (Refleksi) Natal 2015-ku :)

Siang tadi, aku berkata kepada-Nya, “Aku ingin menjadi putri.”

Dia tersenyum, lalu bertanya, “Kenapa tiba-tiba kamu berkeinginan seperti itu?”

“Aku ingin bisa menari seperti para putri di istana. Berputar-putar, menggerakkan badanku mengikuti irama musik...,” jawabku.

“Oh,” gumam-Nya, “maksudmu menjadi seperti putri yang menari bersama pangerannya?”

“Ya!” jawabku.

“Hm, bukankah kamu putri-Ku, putri dari kerajaan Surga? Suatu saat nanti pun, kamu akan menari bersama dengan banyak orang di kerajaan-Ku. Bersabarlah,” kata-Nya lagi.

“Tapi aku ingin menari sekarang!” aku mulai meninggikan suaraku.


“Kenapa begitu?” tanya-Nya.

“Karena aku ingin orang lain tahu bahwa aku punya kemampuan untuk menari juga! Aku ingin menari selagi aku bisa!” jawabku.

Dia terdiam sebentar, lalu berkata, “Tunggulah saat perayaan Natal nanti. Aku punya kejutan untukmu.”

"Kejutan apa?” tanyaku, masih belum menurunkan nada suaraku.

“Tunggu saja,” Dia kembali tersenyum, “Aku ingin tahu apa reaksimu saat mengetahuinya.”

Tanpa berdebat lagi, aku mengiyakan ucapan-Nya.




--*--



Malam ini, aku hanya bisa berkata, “Oh, ini maksud-Nya saat Dia berkata seperti itu.”


Perayaan Natal tahun ini memiliki makna yang sangat... dalam. Bukan hanya karena aku pernah melayani sebagai pengurus di sebuah komisi di gerejaku. Bukan hanya karena sandiwara yang ditampilkan.


Malam ini, aku belajar dua hal. Dua? Well, sebenarnya ada banyak. Tapi ada dua hal yang cukup menohokku.


Pertama, aku belajar bahwa Natal berarti masa di mana kita diingatkan kembali untuk mau membuka diri bagi sesama, dan bagi Tuhan tentunya. Hah? Bukankah itu adalah hal yang biasa dibicarakan saat persekutuan?


Ya! Tapi aku ingin kalian tahu, di zaman sekarang ini orang-orang semakin egois. Selalu mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya. Apatis. Tidak mau peduli pada orang lain. Bahkan tidak sedikit di antara orang (yang mengaku sebagai) Kristen yang tetap menutup pintu hati mereka terhadap kondisi dunia saat ini. Hati kita sebagai manusia telah berubah menjadi degil. Dingin. Tidak ada kehangatan di dalamnya.


Dan yang menjadi paradoks di sini adalah... Kristus, yang adalah Raja di atas segala raja itu, turun ke dalam dunia menjadi seorang bayi yang lahir di dalam... sebuah kandang. Kandang! Sebuah tempat yang—sebenarnya—tidak layak untuk dijadikan sebagai tempat kelahiran Sang Juruselamat itu! Dia mengosongkan diri-Nya untuk jadi sama seperti kita, mengalami semua hal yang dirasakan oleh manusia (bahkan hal terburuk sekalipun)—hanya saja, Dia tidak berdosa. Kehadiran-Nya membawa terang dan kehangatan yang dinanti-nantikan semua orang. Tapi... tapi Dia disambut dengan tidak pantas! Lahir di kandang domba, terancam dibunuh, dicobai (walaupun Dia tidak mengikuti cobaan itu), tidak diakui oleh masyarakat daerah asalnya (nah, Aku saja tidak mencari pengakuan orang lain. Lah kamu...), difitnah, diludahi, bahkan mati disalib—sebuah hukuman yang sangat kejam, padahal Dia tidak bersalah—lalu bangkit dari antara orang mati.


Non, masihkah kamu ingin menunjukkan kemampuanmu hanya untuk eksistensi dirimu? Aku yang adalah Raja di atas segala raja mengosongkan diri-Ku untuk menyelamatkanmu dan umat manusia lainnya, tapi kamu...? Don’t be so egoist. Kemampuan yang Kuberikan itu untuk kemuliaan-Ku. Aku berhak menentukan kapan kamu memuliakan-Ku dengan kemampuanmu itu, entah sekarang atau suatu saat nanti.


Kedua, entah aku yang terlalu hiperbola atau bagaimana, aku merasa... semua yang diucapkan para pendeta (dan calon pendeta) saat perayaan tadi... semuanya adalah pergumulan yang sedang kupikirkan! Bayangkanlah sebuah gereja yang berisi orang-orang munafik, yang selalu memakai topeng ketulusan dan kejujuran, padahal wajah aslinya sedang memaki dan mengeluh tentang orang lain! Mengerikan. Menjijikkan. It’s a nightmare for our future church kalau kondisi seperti ini tidak segera dihentikan.


Para pendeta dan calon pendeta itu tidak mengungkapkan semua hal di atas dengan kata-kata yang indah. Mereka mengungkapkannya dengan kata-kata yang (aku yakin) pasti dipahami jemaat. Semacam sarkasme kah? Buatku tidak (entah karena aku juga termasuk orang yang suka bersarkasme kah (katanya)? Ha!). Toh itu memang kondisi yang sedang dihadapi gereja masa kini. Jemaat yang apatis, enggan diajak pelayanan, kalaupun diajak pelayanan selalu memasang topeng sukacita (padahal dalam hatinya mengomel, “Huh! Pelayanan terus boros!”), takut bayar harga untuk sebuah pelayanan yang berat... duh, Dek. Gereja kapan berkembang kalau jemaatnya seperti ini melulu :)


Non, tuh kan... bukan cuma kamu dan beberapa temanmu yang punya pergumulan yang sama. Para hamba Tuhan itu juga punya pergumulan tentang kondisi gereja saat ini. Jangan keraskan hatimu, menganggap bahwa mereka seolah-olah menutup mata terhadap jemaat mereka. Justru kamu, teman-temanmu, para aktivis, dan para hamba Tuhan itu harus bekerja sama untuk membangun gereja-Ku untuk segera kembali ke jalan-Ku. Teladankanlah bela rasa-Ku itu pada anggota jemaat yang lain. Ini memang bukan hal yang main-main. Percuma kamu bisa paham tentang berbagai doktrin, tapi kamu tidak menunjukkan bela rasa-Ku pada mereka. Dan percuma juga kalau kamu bisa berbela rasa seperti yang Kulakukan, tapi pengetahuan tentang doktrin dan hal-hal krusial lainnya yang kamu miliki sangat dangkal.”

.

.

.

.

.

25 Desember 2015

11.43 p.m.


Be, terimakasih untuk pelajaran hari ini :) ampuni keegoisanku. Ampuni ke-baper-anku malam ini.

Ajar aku bukan hanya untuk memahami doktrin gereja, tapi ajar aku juga untuk berbela rasa bagi sesamaku tanpa topeng kemunafikan itu. Jadikan aku saluran berkat-Mu, sehingga mereka yang menutup diri dari hadapan-Mu mau kembali ke pelukan-Mu, merasakan indah dan ajaib benar anugerah yang telah mereka terima dari-Mu.


“...untuk apa bersandiwara?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar