Follow Me @aoifideco

@aoifideco

Jumat, 01 Februari 2013

Sederet Potret dari Kota Budaya



Yu-huuu :D


Januarinya sesuatu sekali :3 ehehehe~

Dan di awal Februari ini (tanggal 1), sudah ada beberapa pengalaman unik yang terjadi. Hahaha XD dan yang berhasil membuatku cengoh untuk beberapa saat...


Well.. Ini adalah ceritaku yang (sempat) kuikut-sertakan untuk lomba menulis cerita. Dan ceritaku nggak jadi juara :( Too bad... #kecewa


Tapi nggak apa-apa, toh aku masih bisa mengeposkan ceritaku itu ke blogku XD semoga kalian menyukainya



Give your comments, please ^^ Gomawo :)





Untuk dia, yang menjadi keluarga, teman, sahabat, kakak rohaniku...








Bintang-bintang semakin sulit dilihat di kota itu. Semakin banyak polusi yang menumpuk di udara, membuat nafas jadi sesak saja. Padahal, sekitar empat tahun yang lalu, bintang–bintang masih bisa dilihat di kota ini dengan mudah.


Kota Solo memang tidak seramai kota besar lainnya. Namun—tetap saja—polusi yang ada di kota ini sudah sangat cukup menutup keberadaan bintang–bintang yang ada di langit. Dan Eunike sedikit kecewa karenanya.


Walaupun malam kali ini termasuk cerah, namun sulit bagi Eunike untuk melihat bintang. “Mungkin karena pengaruh lampu–lampu yang menancap di pinggir jalan,” pikirnya sambil memotret di dekat jembatan.

Ini adalah malam pertama Eunike keluar untuk merayakan hari Imlek, bersama dengan teman–teman sefakultasnya. Gadis yang baru saja menjadi mahasisiwi di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) itu betul–betul menyukai pemandangan malam ini. Dia telah menyiapkan kamera analog yang biasa dipakai oleh fotografer profesional untuk memotret. Rencananya, dia akan mengikutkan foto–foto yang diperolehnya ke pameran foto di universitasnya.


Lampion–lampion di atas jembatan itu tersusun dengan rapi. Pemandangan di Pasar Gede malam itu benar–benar indah. Dan akan sangat disayangkan jika pemandangan semacam itu dilewatkan oleh mahasiswi jurusan desain komunikasi visual seperti Eunike.

“Setidaknya dua gambar untuk saat ini,” gumam Eunike sambil memotret ke arah keramaian di sekitar stand makanan.


Ia melihat ke arah laki–laki yang sedang mengantri membeli babi kuah dan tahok (semacam tahu yang belum selesai dibuat, yang biasanya diminum bersama dengan air jahe) di sebuah angkringan (pikulan yang biasa dibawa oleh penjual di pasar untuk menjajakan dagangannya). Laki–laki itu balas melihatnya, dan tersenyum ke arahnya.


Laki–laki itulah yang membantu Eunike untuk kembali berjalan, di atas puing–puing kekecewaannya sejak delapan bulan yang lalu, ketika mereka lulus SMA.



-*-




“Eunike,” panggil Cheryl sambil melambaikan tangannya.


Eunike yang sedang mengobrol dengan Timotius, salah satu sahabat dekatnya di SMA negeri itu, memalingkan wajahnya, dan melihat Cheryl sedang tersenyum ke arahnya. Di sampingnya, berdirilah seorang laki–laki yang nampaknya tidak asing bagi Eunike.


“Ke sini sebentar. Ada yang mau dibicarakan oleh Christo,” Cheryl menggamit tangan temannya ke arah Christopher, salah satu kakak kelas Eunike.

Sontak wajah gadis itu memerah. “Cheryl, kenapa dia harus bicara denganku, sih? Aku nggak siap, tahu,” kata Eunike sambil menggoyang–goyangkan tangannya. Dia menatap dengan memelas ke arah Timotius yang sedang tersenyum nyengir ke arahnya.

“Jarang–jarang kamu bisa ngobrol berdua sama Kak Christo, lho. Sudah sana. Aku menunggumu, kok,” kata Timotius sambil masih tersenyum.

Eunike hanya mendengus pelan, lalu berjalan ke arah Christo yang menunggunya dengan sabar.


“Jadi,” Eunike berkata, “ada apa, Kak?”. Dahinya sedikit berkerut, memikirkan apa yang akan dikatakan oleh Christo. Sementara itu, tangannya ditarik oleh laki–laki itu ke taman di sebelah aula sekolah.


Christo menghela nafas, lalu menjawab, “Tolong katakan yang sebenarnya padaku.”


Eunike memiringkan kepala. Yang sebenarnya? Apa maksudnya?




Seolah bisa membaca pikiran gadis itu, Christo melanjutkan, “Ada seorang temanmu yang bercerita padaku, tentang apa yang kamu rasakan. Jawab yang jujur, ya, Ke.”



Tuhan, tolong jangan sampai dia tahu apa yang kurasakan, batin Eunike.




“Ya?” Eunike mencoba untuk menatap orang yang berada di depannya saat ini, “apa, Kak?”

“Aku sudah punya yang lain. Maaf.”







Jantung Eunike serasa berhenti berdetak. Tidak mungkin, pikir Eunike sambil menggelengkan kepalanya.



“Kak Christo pasti bohong,” Eunike berkata sambil mencoba menahan rasa sakit di dadanya.


Christo menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku tidak bohong, Ke. Aku sudah punya orang yang telah menempati hatiku sekarang,” kata Christo dengan yakin. Matanya menunjukkan tidak ada kebohongan di sana.


“Kalau boleh aku tahu,” Eunike berkata sambil memohon, “siapa orangnya, Kak?”


Hanya dengan satu kata, Eunike merasa dunianya gelap seketika.






“Cheryl.”





Timotius yang heran melihat wajah Eunike yang pucat langsung menghampirinya. Eunike terlihat bengong dan lemas saat melihat Cheryl tersenyum sinis ke arahnya. Ditambah dengan penjelasan bahwa Cheryl dan Christo telah berpacaran sejak dua bulan yang lalu, membuat dunia Eunike semakin gelap. Dan hancur tak bersisa.


“Maaf, ya, Eunike. Tapi sekarang, Christo sudah jadi milikku. Ya kan, Koko (sebutan kakak laki–laki dalam kebudayaan Cina)?” Cheryl berkata sambil menggandeng tangan Christo dengan mesra.


Christo tersenyum kecil. “Tentu, Nik (singkatan ‘Nonik’, sebutan adik perempuan dalam kebudayaan Cina),” jawab Christo.





“Sahabat macam apa kamu ini!? Merebut orang yang disukai sahabatnya sendiri!”



Dua kalimat itu menyebabkan Eunike tersadar dari keterpurukannya. Timotius berkata sambil menatap tajam ke arah Cheryl. Yang ditatap hanya mengangkat bahu.



Well... Eunike tidak agresif, sih. Jadi, Koko milikku sekarang,” Cheryl menjawab sambil mengedipkan mata.


“Kamu cocok sekali dengan Eunike, Tim. Kenapa kamu tidak jadi pacarnya saja? Orang bilang, kalau ada perempuan dan laki-laki yang wajahnya sama itu jodoh, lho. Wajahmu dan wajah Eunike, kan mirip...,” lanjut Cheryl sambil tertawa kecil.



Timotius menghiraukan kata-kata Cheryl dan mengalihkan pandangannya ke Eunike. Tidak. Ini bukan Eunike yang kukenal. Eunike yang kukenal adalah Eunike yang tegar dan tetap tersenyum ketika kondisinya sulit, bukan Eunike yang terlihat lemas seperti ini! pikir Timotius cemas.



“Tutup mulutmu, Cheryl! Kamu ini keterlaluan!” Timotius menghardik Cheryl. Dan gadis itu langsung terdiam saat mendengar hardikan Timotius.


Tiba-tiba, Eunike menggamit tangan Timotius. Tangannya bergetar, dan terasa dingin. Timotius benar-benar cemas melihat gadis itu.




“Aku mau pulang,” katanya pelan pada Timotius. “Maaf kalau aku hanya jadi pengganggu hubungan kalian berdua,” kata Eunike sambil menatap sepasang sejoli yang ‘kejam’ itu. “Permisi.”



Sebelum mengejar Eunike yang langsung meninggalkan mereka, Timotius bergumam, “Aku kecewa, karena Eunike mempercayaimu sebagai sahabatnya, Cheryl.”



-*-


Kenangan itu sempat terputus, saat Eunike melihat Timotius sedang berdiri di depannya, dengan membawa dua piring berisi babi kuah.


“Kau baik-baik saja, Ke?” tanyanya sambil meletakkan dua piring itu ke atas meja mereka.

Eunike mengangguk. “Aku baik-baik saja. Mana yang lain?” tanyanya sambil tersenyum.


“Mereka mau jalan-jalan dulu, kok. Jadi kita makan berdua dulu saja. Oh, ya. Aku akan mengambil tahok-nya. Tunggu, ya,” Timotius berkata sambil melambaikan tangan ke arah gadis itu, dan berjalan menuju ke angkringan tahok.



-*-


“Tim, bisakah aku bertemu denganmu?” tanya Eunike melalui telepon pada Timotius.


“Boleh saja,” jawabnya. Ia tahu bahwa di saat-saat seperti ini, Eunike butuh orang yang bisa dipercayai. 

“Kapan?”

“Sabtu besok? Jam 3 sore, di Exclesso?” Eunike mengusulkan.


Timotius mengangguk-angguk, walaupun saat itu Eunike tidak bisa melihatnya. “Boleh. Tapi aku tidak bisa lama-lama. Jam 5-nya aku pelayanan musik di gereja. Hehehe...,” jawab Timotius.

“Hahaha...,” Eunike tertawa, “aku juga, kok. Jam 5-nya aku juga ke gereja.”


“Aku senang, kamu bisa tertawa lagi, Ke.”


Dan detik itu juga Timotius tidak mengerti, kenapa dirinya harus mengatakan hal sebodoh itu.

“Hm,” gadis itu bergumam, “aku juga tidak tahu, Tim. Mungkin karena aku sudah bisa move on darinya?” tanyanya.


Timotius menjawab, “Entahlah. Oh, aku tahu. Bagaimana kalau setelah kita ngobrol, aku mengantarmu ke gereja?”


“Boleh saja,” Eunike meringis. “Thanks, Tim. Kau memang betul-betul sahabat.”



Dan Timotius tidak mengerti, kenapa dengan satu kalimat terakhir itu ia bisa merasa begitu bahagia.



-*-



“Maaf, lama ya?” Timotius membawa dua mangkuk berisi tahok. Dia meringis ke arah Eunike yang tersenyum ke arahnya.


“Nggak apa-apa, kok. Yey... Aku suka minuman ini,” Eunike menyendok tahok-nya. Timotius tersenyum melihat sahabatnya itu.


“Aku jadi teringat saat kamu hampir saja menumpahkan espresso milikmu sewaktu kita ke Exclesso delapan bulan yang lalu,” kata Timotius.


Eunike memiringkan kepala. “Oh, ya? Aku kok, lupa ya?” tanya gadis itu dengan wajah polos.

“Apa perlu kuceritakan? Hahahaha... Taruhan kamu pasti malu nanti,” Timotius tertawa melihat Eunike yang sedang (mencoba) berpikir.

“Biarkan aku berpikir dulu, oke? Kalau sudah mentok (bahasa Jawanya ‘tidak bisa dilanjutkan), aku akan bertanya padamu. Hehehe...,” kata Eunike sambil tertawa kecil.


“Oke, terserah kamu deh.” Timotius mencoba menahan tawanya, takut kalau tawanya bisa membuyarkan pikiran gadis itu.



-*-


 “Mbak, ini rame banget lho. Saya nggak yakin bisa muter kalau sudah sampai di sana,” ujar supir taksi yang ditumpangi Eunike.


Entah ada demo atau apa, tapi jalanan menuju ke Solo Square begitu ramai. Eunike mengeluh dalam hati, “Pasti dia udah garing nungguin aku.”

Setibanya di depan rumah sakit Panti Waluyo, Eunike menyerahkan uang tip kepada supir itu.

“Ya udah, Pak. Aku turun di sini aja. Makasih ya, Pak,” kata Eunike sambil turun dari taksi. Dan dia langsung berjalan menuju ke Solo Square.


Perlu 10 menit lebih baginya untuk bisa tiba di Solo Square. Setibanya di pintu masuk, dia langsung menuju ke Exclesso. Dan menemukan Timotius yang sedang membaca novel di sana.


“Maaf, aku telat. Macet di depan Panti Waluyo,” kata Eunike sambil tersenyum padanya. Timotius balas tersenyum.

“Nggak apa-apa, kok. Oh, iya. Aku sudah pesan kopi dan makanan. Kamu pesan aja sana. Aku yang traktir,” kata Timotius.

“Lho?” gumam Eunike protes, “kan, aku yang ngajak kamu ke sini. Harusnya aku yang bayar, dong!”

Timotius menggelengkan kepalanya. “Kamu cepet pesan aja. Kasihan mbak-nya, lho. Nanti dia garing gara-gara nungguin kamu,” kata Timotius sambil meringis ke arah pelayan yang sedari tadi menunggu dua sahabat ini.


“Iya, Mas ini dari tadi nungguin Mbak, lho. Beruntung, ya punya pacar kaya dia, Mbak,” kata si pelayan sambil tersenyum lebar melihat ‘pertengkaran’ kecil Eunike dan Timotius.

Eunike mengelak, “Bukan, Mbak. Dia sahabat saya, kok. Oh, iya. Saya pesan coffee float dan sandwich, ya.” Dan dia langsung duduk di depan Timotius, sementara si pelayan ke dapur.


“Mbak-nya itu, kok bisa mengira aku pacaran sama kamu, sih?” tanya Eunike keheranan.

Timotius mengangkat bahu. “Entah. Mungkin kita jodoh kali,” jawab Timotius asal sambil nyengir. “Wajah kita mirip, kan?”

Eunike mendengus pelan. Lalu tertawa. “Hahaha... Kamu percaya sama yang begituan, ya, Tim? Sama seperti Cheryl,”’ dia berkata di sela-sela tawanya.

“Nggak, sih. Aku percaya, kok, kalau journey mate itu diatur Tuhan. Asal kita percaya kalau Dia ngasih yang terbaik buat kita,” kata Timotius sambil tersenyum kecil.

“Wow,” Eunike bergumam, “benar itu. Hehehe... Just trust in Him, and wait until the right time when He’ll give you your journey mate.”

“Maaf, deh, buat yang ujian bahasa Inggrisnya bagus,” ledek Timotius.

“Maaf, deh, buat yang ujian Kimianya bagus,” Eunike balas meledek Timotius.


Dalam hatinya, ia bersyukur karena punya sahabat seperti Timotius. Sahabat yang mau diajak curhat meski sudah lewat tengah malam, sahabat yang mau memberinya solusi ketika dia menghadapi kesulitan, dan sahabat yang suka menghiburnya dengan cara-cara yang unik.

“Omong-omong soal Cheryl, kamu sudah bisa move on dari cowok itu?”

Pertanyaan itu membuat Eunike berpikir sejenak. Oh, iya. Dia memang sudah mengampuni Cheryl. Walaupun dia bersikap seenaknya seperti Sabtu lalu, tapi dia tetap sahabat Eunike. Sedangkan Christo...


“Entah, Tim. Aku nggak yakin bisa move on darinya,” jawab Eunike ragu.

Timotius mengerutkan dahi. “Kenapa?” tanyanya.

Gadis itu mengangkat bahu. “Jarang sekali aku bisa berteman cukup dekat dengan seorang cowok yang bisa dijadikan teladan. Dan Kak Christo itu teladan buatku. Teladan dalam banyak hal,” jawabnya.


“Jangan lupakan dia kalau dia memang berarti untukmu, Ke.”


Eunike memandangi Timotius. Entah sejak kapan laki-laki itu jadi bijak, tapi dia selalu merasa dikuatkan jika Timotius sudah mengungkapkan kata-kata bijaknya.


“Ke, di luar sana masih ada cowok lain yang lebih pantas untukmu. Kamu baru lulus SMA. Kenapa harus terburu-buru untuk pacaran? Apa kamu tahan pacaran selama lebih dari lima tahun?” Timotius bertanya pada Eunike dengan pelan. Ia berusaha untuk mencari tahu apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya itu. Dan mencoba mencari sebuah harapan darinya.



“Iya, aku tahu itu, Tim,” Eunike mendesah, “tapi entah kenapa, belakangan ini aku sering kepikiran begini... Bagaimana kalau sewaktu kuliah nggak ada yang mau sama aku? Bagaimana kalau banyak orang yang bilang kalau aku terlalu alim? Bagaimana kalau aku...”


Kata-katanya terhenti saat melihat tangannya yang sedang dalam posisi berdoa itu digenggam Timotius. Laki-laki itu juga heran, angin apa yang tiba-tiba membuatnya bisa seperti itu.


Yang ia tahu pasti, ia ingin menguatkan hati gadis itu. Semampunya. Walaupun mungkin gadis itu akan merasa bahwa ia adalah laki-laki teraneh yang pernah ia jumpai.
Ia ingin agar gadis itu tahu, bahwa selama ini ia mendukungnya. Mendukung gadis itu untuk jadi lebih baik.



“Jangan pusatkan semuanya pada dirimu, Ke. Pusatkan semuanya cuma sama Tuhan. Dan kamu nggak bakal kecewa, karena Dia pasti memberikan yang terbaik untukmu, walaupun mungkin kamu nggak menyadarinya,” kata Timotius sambil tersenyum.

Eunike terdiam. Tapi kemudian dia tersenyum.

“Kau benar. Aku nggak sia-sia punya sahabat sepertimu, Tim,” katanya.


Si pelayan yang sempat menyerocos tadi datang. Timotius segera menarik tangannya. Gawat kalau pelayan penyerocos itu tahu hal ini, pikir Timotius.

“Selamat menikmati,” pelayan itu berkata sambil meletakkan pesanan mereka ke meja, lalu melanjutkan,

“Kalian ini pacaran kan? Sampai pegang-pegangan tangan segala...”

Eunike protes, “Nggak kok. Kami cuma sahabatan. Ya, kan Tim?”

Timotius mengangguk, “Iya. Eh, Keke! Hati-hati! Cangkir ko...”


Cangkir kopi Eunike nyaris tumpah saat tangan gadis itu menyemplak benda itu. Pelayan itu segera menangkapnya dengan sigap.

“Hati-hati, Mbak. Hampir saja kopinya tumpah. Permisi,” pelayan itu mengembalikan cangkir itu dan berlalu dari situ.


-*-


“Oh, kurasa aku sudah tahu, Tim,” Eunike meringis ketika mengingat kopi-yang-hampir-saja-tumpah. Timotius mengalihkan pandangannya dari babi kuahnya.

“Ha! Kau sendiri juga mau ketawa, kan? Hahahaha~” Timotius langsung tertawa saat melihat ekspresi sahabatnya itu.

Melihat Timotius tertawa, akhirnya Eunike-pun tertawa.


“Ahahahahaaaa~ Senangnya bisa tertawa lepas seperti sekarang,” katanya di sela-sela tawanya, “makasih, Tim. Imlek kali ini benar-benar luar biasa.”

Timotius tersenyum. “Aku senang, akhirnya kau berhasil move on, Ke,” ujarnya.

“Cuma ada satu hal yang nggak aku mengerti!” tiba-tiba Eunike mengeluh, “kenapa kamu ngotot menraktirku waktu itu?”

Ah, ya. Tentang itu. “Karena kamu berhasil move on, Ke. Itu sebabnya aku menraktirmu. Yah, anggap saja sebagai hadiah karena kamu berhasil move on. Hehehe...,” jawab Timotius.



Harus kuakui, pikir Eunike sambil menyendok tahok-nya, Timotius benar-benar  sahabat yang luar biasa. Aku nggak menyesali keputusan orangtuaku untuk menyekolahkanku di SMA itu.


“Hei, lihat!” tiba-tiba Timotius menunjuk ke arah langit, “ada banyak kembang api!”

“Wow...” Eunike bergumam kagum, “indah sekali!”

Timotius melihat jam tangannya. “Wah, ayo Ke. Kita kelilingi kota ini,” katanya sambil berdiri.

“Hah?” Eunike mengerutkan dahi, “terus, bagaimana dengan teman-teman yang lain?” tanyanya.


Timotius tersenyum. “Aku sudah minta izin sama mereka. Ayo, Ke. Kita masih harus mencari beberapa foto lagi untuk pameranmu, kan?” ujar laki-laki itu sambil menarik tangan gadis di depannya.


Mereka memotret bagian depan Loji Gandrung, keramaian jalan Slamet Riyadi, menyempatkan diri ke bundaran Purwosari, dan ‘tur singkat’ mereka berakhir di taman hiburan Sriwedari.


Di Sriwedari, suasananya begitu ramai. Banyak anak yang bermain ke sana dengan orangtua mereka.

“Aku akan memotret pemandangan malam di sini, Tim,” kata Eunike sambil menyiapkan kameranya, “suasananya ramai. Aku suka.”


Setelah itu, mereka membeli arum manis yang terletak di dekat bianglala. Saat mereka berjalan di depan bianglala, tiba-tiba, Timotius menghentikan langkah gadis itu. “Tunggu. Aku mau berfoto denganmu,” katanya sambil menarik lengan baju Eunike.

Gadis itu kelihatan bingung saat melihat Timotius meminta tolong pada seorang satpam yang ada di dekat situ, untuk memotret mereka berdua.

“Bergayalah sesukamu, Ke,” kata laki-laki itu sambil tersenyum.


Eunike tersenyum dan berpikir, “Baiklah. Kuturuti saja permintaannya.”




Dua minggu kemudian, pameran dari fakultas DKV dimulai. Banyak orang yang melihat karya dari mahasiswa fakultas itu. Termasuk karya dari Eunike, yang sejauh ini menjadi karya yang disukai oleh orang-orang yang melihatnya.

Foto itu adalah suasana Pasar Gede pada malam hari, saat perayaan hari Imlek. Lampion-lampionnya terlihat nyata, orang-orang yang sedang menikmati malam hari itu terlihat hidup.


“Eunike,” panggil seniornya, “ada kado untukmu.”

Gadis itu memiringkan kepalanya. “Dari siapa?”

“Rahasia,” senior itu tersenyum, “tebak saja sendiri.”


Sambil setengah menggerutu, dia membuka kado yang dibungkus dengan kertas kado biru muda. Dan ia begitu kaget saat melihat kado untuknya itu.

Di dalam bingkai yang bergambar Doraemon itu, terdapat sebuah foto Timotius dan Eunike, serta 2 foto gadis itu. Eunike tidak tahu kapan laki-laki itu mengambil gambarnya, tapi yang jelas, ia sangat terharu atas perhatian laki-laki itu padanya.


Menikmati babi kuah, di bawah sinar lampion di dekat Pasar Gede, tulis Timotius di bawah foto Eunike yang sedang menyantap babi kuah sewaktu Imlek dua minggu yang lalu.


Memotret pemandangan kota Solo di malam hari, sebuah kegiatan yang diidamkannya sejak masuk DKV, tulis Timotius di bawah foto Eunike yang sedang memotret Balaikota dan sekitarnya sewaktu Imlek juga.


Tapi, yang membuatnya tidak bisa berbicara untuk beberapa saat adalah saat ia melihat foto mereka berdua yang sedang memegang arum manis di depan bianglala. Di bawah foto itu tertulis, Menghabiskan waktu bersama orang yang dekat denganmu akan membuat perasaanmu jauh lebih baik.


Eunike menoleh ke sana kemari, mencari Timotius. Dia menyenggol temannya yang sedang berdiri di sampingnya.

“Kamu lihat Timotius?” tanya Eunike pada temannya itu. Temannya itu langsung menunjuk ke arah kafe yang terletak tidak jauh dari situ. Eunike segera pergi ke kafe itu. Dia melihat Timotius sedang tersenyum di depannya.


“Sudah lihat kadoku?” tanya Timotius sambil mempersilahkan duduk gadis itu.


Eunike mengangguk. “Sudah. Dan aku hampir tidak bisa berkata apa-apa sewaktu melihat foto kita berdua,” jawabnya jujur, “terimakasih, Tim, untuk kadomu, untuk perhatianmu. Untuk semuanya,” lanjutnya sambil tersenyum.


“Aku ingin mengenalmu lebih dalam lagi, Ke.”





Kata-kata Timotius meluncur begitu cepat, dan Eunike tercengang mendengarnya.


“Mak... Maksudmu, kamu mau jadi pacarku?” tanya Eunike tidak percaya.


Timotius menggelengkan kepalanya. “Tidak. Bukan itu. Kalaupun kamu mau, aku akan sangat senang, Ke. Tapi aku tahu, bahwa kamu juga masih memikirkan banyak hal yang jauh lebih penting daripada pacaran. Aku sendiri juga belum siap untuk pacaran,” jawab Timotius dengan suara pelan.


“Aku hanya ingin jadi sahabatmu, setidaknya untuk saat ini. Kurasa aku masih butuh waktu untuk mengenalmu. Kau mau kan, Ke?” tanya Timotius dengan penuh harap.


Dada Eunike terasa sakit. Bukan karena kecewa, atau karena dia sedih. Dia tidak menyangka bahwa sahabatnya selama ini benar-benar sahabat yang mau ada untuknya setiap saat.


Dia ingin sekali menganggukkan kepalanya. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya. Dia takut akan dikhianati lagi, sama seperti pengalamannya ketika bersahabat dengan Cheryl.


“Kalau aku tidak akan mengkhianatimu, apakah kamu akan berbuat hal yang sama?” tanya Eunike, yang langsung dijawab dengan anggukan kepala Timotius.


“Ya. Aku janji aku tidak akan mengkhianatimu,” jawabnya mantap, “dan aku akan berdoa kepada Tuhan setiap hari, supaya aku tidak akan menyakiti hatimu,” tambahnya dengan senyuman yang tulus.



Eunike terdiam cukup lama. Tapi kemudian dia tersenyum, menyunggingkan senyuman yang paling dirindukan oleh Timotius. Senyuman yang dapat membuat perasaannya jadi lebih baik.





“Aku mau.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar