The last part of "A Worth-It Waiting!"
Narita International
Airport, a week after that confession...
Hari ini Akira-kun akan berangkat ke Amerika Serikat.
Sebenarnya, aku masih ingin dia tetap di sini, walaupun dia pernah bilang
padaku bahwa dia akan melanjutkan studinya di Negeri Paman Sam itu selama 2
tahun (cepet lulus, Kak! >.<).
“Hati-hati di jalan ya, Akira,” kata Paman Yamato pada
Akira-kun. Beliau sengaja cuti hari ini untuk mengantar kepergian anaknya.
“Akira,”
Tante Harumi berkata sambil memeluk Akira-kun, “kami menyayangimu. Jaga dirimu
baik-baik. Kami tidak ingin kehilanganmu Nak...”
Akira-kun
tersenyum saat mendengar kata-kata orang tuanya. “Baik, Otoosan. Doakan supaya aku sampai di sana dengan selamat ya. Okaasan jangan khawatir. Aku akan
baik-baik saja. Aku juga menyayangi kalian,”
katanya. Dia memeluk orang tuanya.
Setelah
melepaskan pelukannya, Akira-kun memanggil Wataru dan beberapa temannya yang
ikut mengantarnya. Sementara mereka mengobrol, aku diajak ngobrol oleh Tante
Harumi.
“Tante
bangga sekali pada Akira. Dia benar-benar berjuang keras agar dia bisa
melanjutkan kuliahnya ke Amerika Serikat. Dan..,” beliau tersenyum ke arahku, “Tante
senang sekali karena dia memilih sahabat Kyoko untuk menjadi teman hidupnya.
Terima kasih, Akane.”
Aku
balas tersenyum ke arah Tante Harumi. Tiba-tiba Wataru menepuk bahuku. “Akira
ingin berbicara denganmu,” katanya.
Aku
melangkah ke arah Akira-kun, sementara teman-temannya gantian mengobrol dengan
orang tuanya. Akira-kun menggenggam tanganku setelah aku sampai di depannya. Oh no... jangan sampai aku menangis di
hadapannya.
“Akane-chan...,”
panggilnya lembut. Aku mendongakkan kepala ke arahnya.
“Jaga
dirimu baik-baik ya. Tunggu aku sampai aku menyelesaikan kuliahku. Kamu bersedia
kan?” katanya.
Aku
mengangguk. “Iya, aku janji. Akira-kun, tetaplah setia ya. I’ll waiting on you faithfully,” jawabku.
Aku
merasa bahwa aku akan menangis kalau terus-terusan melihat ke arahnya. Jadi aku
menundukkan kepala, menahan air mataku. Tahu-tahu Akira-kun mengusap air mata
yang telah ada di pelupuk mataku. Dia
berkata dengan lembut,
“I can’t promise that I’ll never make you
cry, but I promise that I’ll not let you crying so long in front of me,
Akane-chan.”
Aku
mengangguk lagi, lalu menengadahkan kepala. Dia melanjutkan,
“Actually, I want to hug and kiss you. Tapi
aku tahu kalau kamu nggak mau hehe.” Akira-kun meringis. Akupun tertawa kecil.
“Iya,
aku nggak mau. I just want to be hug and
kissed by my journey mate,” kataku.
“Bersabarlah,
Akane-chan. Hari itu akan tiba hehehe.. Hm, aku ngomong aja kalau gitu. Boleh
kan?” tanyanya.
Aku
mengangkat bahu dan berkata, “Terserah. Pokoknya jangan pakai bahasa Jepang dan
bahasa Inggris. Hahaha”
Dia
menarik nafas, lalu kemudian berkata, “Ich
liebe dich”. Aku tersenyum, genggaman tangan Akira-kun semakin kuat.
Aku
membalasnya, “Rak rak”. Aku meringis
saat melihat ekspresi kebingungan Akira-kun.
“Apa
artinya itu, Akane-chan?” tanyanya heran.
“Tanya
aja sama teman di Amerika ya, Akira-kun hahaha” jawabku (nakal banget :p)
Dia
berpura-pura kesal, lalu tertawa. “Oke oke. Aku akan tanya begitu sudah sampai
di sana. Aku pergi dulu ya, Akane-chan.”
Akira-kun
kemudian mengelus kepalaku sekali, lalu berpamitan kepada orangtuanya dan
teman-temannya. “Aku pergi dulu ya!” katanya sambil melambaikan tangan.
“Hati-hati
di jalan, Akira!!” kami membalasnya dengan lambaian tangan juga.
Please watch over me..
I stand here for something,
we both to believe in..
Just don’t turn your heart away.
One thing I tell to you,
let this heart always with you...
Just let it flow
Like the way it be
(Like
the Way It be – Sound of a Mirror)
-**-
2 years later
Aku
merindukan Akira-kun.
Walaupun
kami sering berkomunikasi (lewat berbagai media sosial), tapi aku pun ingin
bisa bertemu dengannya secara langsung. Aku rindu saat dia ngobrol panjang
lebar tentang Kristus (tanpa harus terbebani biaya pulsa yang terus
membengkak), dan.. aku rindu saat dia memanggilku ‘Akane-chan’ sewaktu kami
pergi berdua. Aku tidak tahu, apakah dia juga merindukan hal yang sama, atau
jangan-jangan... dia hanya menganggap komunikasi kami selama ini hanya untuk
membuat perasaanku baik-baik saja?
Aku
keluar dari gedung gereja, tepat saat daun-daun mapel berguguran di depanku.
Angin musim gugur membuat hawa di sekitarku terasa sejuk. Ada banyak anak yang
bermain dengan daun-daun itu, sementara orang tua mereka mengobrol dengan
anggota jemaat yang lain.
Setelah
mengikuti kebaktian, aku akan mengikuti rapat refreshing course untuk tahun ini. Tiba-tiba saja, tadi pagi Kana
(sudah lupakah kalian dengan dirinya? Duh, kasihan Kana -.- hehe) mengabariku
kalau siang ini akan ada rapat. Padahal sebelumnya, kami diberitahu bahwa rapat
itu akan diadakan sore nanti.
“Ayo
Akane, kita ke ruang rapat~” ajak Kana sambil menggaet tanganku.
Aku
tertawa. “Santai aja, Kana. Kenapa sihh?”
“Ayo
dongg.. nanti setelah rapat kan kamu bisa menjemput Akira-kun. Jadi semakin
cepat kita mulai rapatnya, semakin cepat kamu bisa menjemputnyaaa” jawab Kana
setengah nyengir.
Aku
meninju pelan tangannya, lalu berkata, “Baik, Bu! Ayo rapat hehe”
-*-
18.30, on the same day
Menurut
jadwal penerbangan, Akira seharusnya sudah tiba di Tokyo sejak jam 4 sore tadi.
Tapi.. kenapa tidak ada kabar darinya sampai sekarang ya? Duh, jadi kepikiran
kan ._.
“Akane,”
Wataru memanggilku. Dia memegang cordless
phone, “Tante Harumi ingin berbicara denganmu.”
Aku
langsung melesat ke arah Wataru, dan mengambil telepon itu. Semoga bukan sesuatu yang buruk, pikirku.
“Konbawa, Tante,” sapaku duluan.
“Konbawa, Akane! Akira baru saja sampai
di rumah. Wah, dia kelihatan capek sekali. Tante sampai khawatir kalau dia
tiba-tiba pingsan sebelum dia sempat mandi dan makan malam...”
Aku
menghela nafas lega. Akira-kun sudah sampai di rumah. Tapi... kenapa bukan
dia yang mengabariku? Apa dia memang sudah bosan denganku?
“Tapi
ternyata tidak. Om Yamato baru saja bilang kalau Akira sudah makan saat Tante
keluar tadi. Sekarang dia tidur. Oh ya, Akane. Sewaktu perjalanan pulang tadi,
Akira sempat berkata kepadaku... Halo? Kamu masih di situ, kan Akane?”
“Oh,
maaf, Tante! Kenapa Tante?” tanyaku, kaget karena Tante Harumi terus berbicara.
Tante
Harumi tertawa, “Tidak apa-apa. Tante tadi cuma mau bilang, besok jam 5 sore
kamu ke taman di dekat rumah kami ya. Besok kamu kuliahnya cuma sampai jam 11
siang kan?”
“Iya,
Tante. Oke, besok aku akan ke sana. Ehm... memangnya ada apa ya?” tanyaku.
“Ahaaa!
Lihat saja deh besok,” Tante Harumi berkata, lalu kami menutup telepon.
-*-
At the park, near with Akira-kun’s house, 5.00 p.m.
Musim
gugur tahun ini begitu indah. Daun-daun mapel yang berguguran, angin musim
gugur, langit sore yang berwarna jingga kemerahan... I love autumn! :)
Aku
berjalan di taman di dekat rumah Akira-kun. Sudah jam 5 sore, pikirku. Di
sekitar taman, ada banyak orang yang berlalu lalang. Ada yang baru saja pulang
dari kantor, pabrik, sekolah, dan... entahlah.
Aku
mulai memotret pemandangan di taman ini dengan kamera HP-ku. Setelah mendapat
banyak foto, aku memutuskan untuk duduk di kursi panjang. Belum ada 10 menit
aku duduk di sana, tahu-tahu seseorang menutup mataku. Sontak aku berteriak,
“Heii!
Kenapa ini?? Siapa kamuu???” tanyaku kaget.
Orang
itu tetap bergeming, dan dia berkata, “Salah satu anggota keluarga yang tinggal
di rumah di dekat sini.”
Aku
berusaha untuk melepaskan diri, tapi konyolnya, orang itu semakin menguatkan
pertahanan dirinya dari gerakanku.
“Kalau
kamu macam-macam, aku akan lapor polisi!” seruku.
Orang
itu membuka mataku sambil tertawa kecil. “Akane-chan ini...”
Aku
mendongakkan kepala. Orang yang sedang berdiri di belakangku adalah orang yang
sangat aku kenal. Seseorang yang membuatku menyadari bahwa mencintai dan
dicintai adalah sebuah keajaiban.
“Akira-kun,”
kataku. Senyumanku mulai mengembang.
Akira-kun
balas tersenyum. “I’m back, Akane-chan.”.
Dia pun duduk di sebelahku. Setelah duduk, Akira-kun menggenggam tanganku.
“Sudah
lama menunggunya?” tanyanya sambil memandangiku.
Aku
menjawab, “Baru 10 menit kok. Hehehe...”
Dia
kemudian memberiku sebuah buku. Aku melongo. “Itu buku apa?” tanyaku.
“Buatmu.
Aku mengisinya selama di Amerika Serikat,” jawabnya.
Aku
pun membuka halaman pertamanya. Di situ tertulis, “I know what ‘Rak rak’ means now. It means... Saranghaeyo :) Am I right? – Akira-kun”.
Aku
meringis. “Kamu masih ingat ya, kata-kataku waktu di bandara itu?” tanyaku
sambil melihat ke arahnya.
Dia
mengangguk. “Lanjutkan halaman berikutnya, Akane-chan,” katanya.
Dan
begitulah. Aku membuka halaman kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Semuanya
berisi foto tentang... aku. Fotoku saat berada di taman bermain, fotoku saat
bermain kembang api, dan masih ada beberapa lagi (cuma melihat sekilas sih~).
Tapi
saat aku membuka halaman kesepuluh, aku tidak bisa berkata apa-apa. Di halaman
itu, ada fotoku dan Akira-kun saat makan di rumahku, setelah aku berkata ‘Ya’
kepadanya. Yang memotret kami waktu itu adalah Otoosan, lalu fotonya aku kirimkan lewat e-mail kepada Akira-kun.
Di bawah foto itu tertulis,
“Some people can be difficult to love, and so we do not even try to care. But God says, “Love them just as I’ve loved you. You’ll bring Me glory as My love you share.” See others as God sees you.”
Dan... “’Aku cinta kamu’, demikian aku katakan. Tapi dalam kenyataannya tidak mudah, karena aku masih sering melukaimu'”.
“A... Akira-kun,” panggilku pelan. Buku ini bukan buku biasa. Ini... ini adalah curahan hati Akira-kun tentang diriku.
Dia menoleh ke arahku dan berkata,
“Setiap kali aku merindukanmu, aku mencetak fotomu, juga foto kita, dan menempelkannya ke buku itu. Aku juga menulisinya dengan apa yang aku pikirkan tentang dirimu. Termasuk saat... saat aku merasa bosan dengan long distance relationship yang kita jalani. Saat kita bertengkar-jarak-jauh, kamu masih ingat kan?”
Aku terdiam, mencerna kata-kata Akira-kun.
“Selain lewat saat teduh, quotes yang aku tulis di buku itu juga mengingatkanku agar aku tetap bisa mengasihimu. Dan aku bersyukur karena kamu pun masih tetap setia menungguku. Buku itu untukmu, Akane-chan, sebagai bentuk terima kasihku karena telah menungguku selama 2 tahun ini,” lanjutnya. Dia mengelus kepalaku, dan memandangku dengan sorot matanya yang hangat.
“Danke fur das Buch, Akira-kun,” kataku sambil tersenyum, kemudian memeluk buku itu dengan erat.
Akira-kun balas tersenyum, “Bitte, Akane-chan.”
Selama memandangi gugurnya dedaunan dan menggenggam tangan Akira-kun, aku cuma bisa berkata dalam hatiku, “Danke Gott fur alles” :)
FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar