Walaupun tidak
ada hal lain di dunia ini yang bisa kaupercayai, percayalah bahwa aku
mencintaimu. Sepenuh hatiku. – Mia Clark (Sunshine Becomes You)
“Hei, aku tidak yakin kalau kau mau mencoba
permainan itu.”
Suara Akira-kun membuatku tersadar, dan mengalihkan
pandanganku dari wahana itu.
“Memangnya kenapa?” tanyaku sambil tersenyum, “kau
takut, ya, Akira-kun?”
Akira-kun menggeleng. “Tidak, bukan itu. Aku tidak
ingin mendengarmu berteriak paling kencang saat roller coaster itu turun dari
tanjakannya,” jawabnya sambil menyeringai.
.__. “Kita lihat saja nanti. Ayolah, temani aku, ya J” aku berusaha merajuk padanya, meski itu kulakukan
sambil tersenyum kecil.
Akira-kun pura-pura mendesah, tapi dia tertawa.
“Oke, aku akan menemanimu.”
-*-
Sudah 5 tahun sejak kami kehilangan Kyoko, dan sejak
saat itulah aku mulai mengenal Akira-kun.
5 tahun bukan waktu yang sebentar. Dan dari situlah,
kami belajar untuk menjadi sahabat satu sama lain. Oke, kurasa kalimat terakhir itu harus dikoreksi. Kami belajar untuk
saling percaya dan berbagi satu sama lain.
“Kau melamun lagi, Akane-chan.”
Akira-kun menyadarkanku untuk yang kesekian kalinya.
Entah kenapa, hari ini aku sering melamun setiap memikirkannya. Itu bukan berarti aku menyukainya. Bukan!
Aku merasakan sesuatu yang lebih dari itu.
“Maaf,” aku tersenyum kecil. “Kurasa aku melamun
karena memikirkan seseorang,” kataku. Yang
kupiikirkan adalah dirimu.
“Oh,” dia tersenyum, “apa kamu memikirkan seseorang
yang mengajakmu ke tempat ini? Dia memakai kacamata, dan sedang berdiri di
depanmu?”
“Haha,” aku tertawa datar, “lucu sekali. Kamu
menggambarkan dirimu sendiri, Akira-kun,” kataku sambil tersenyum lebar,
mengingat Akira-kun yang memasang wajah polosnya, dan telihat bodoh karenanya.
Akira-kun tertawa. “Baguslah. Kamu terlihat ceria
lagi, Akane-chan. Salah satu hal yang ingin kulihat di taman ini adalah wajah
ceriamu.”
Aku memiringkan kepala. Apa yang dikatakannya
barusan?
Apapun yang dikatakannya, itu membuat jantungku
berdebar tak karuan. .__. Dan karena ia melihat reaksiku, dia malah membuat
jantungku semakin berdebar-debar.
“Kau baik-baik saja, Akane-chan?” tanyanya sambil
menempelkan telapak tangannya di atas dahiku. “Kamu kelelahan?”
Aku menggeleng. “Tidak. Aku baik-baik saja. Kurasa
aku kehausan karena belum minum sejak 1 jam yang lalu,” jawabku sambil
tersenyum, “terima kasih karena telah memperhatikanku.”
Akira-kun tersenyum. “Kau terkesan seperti Kyoko,
Akane-chan. Dan kulihat, kau terlihat semakin dewasa sejak 5 tahun yang lalu,”
katanya sambil menggandeng tanganku, dan mengajakku ke salah satu stand
penjualan minuman.
“Terima kasih,” aku menjawab sambil meringis.
Meringis karena terharu oleh kata-kata Akira-kun barusan, meringis
karena teringat Kyoko–yang sudah tiada sejak 5 tahun yang lalu.
“Kau tahu,” Akira-kun berkata sambil memberikanku
minuman soda yang ia beli, “kadang aku berpikir bahwa aku hanya bisa mencintai
orang yang juga mencintaiku.”
Aku tersentak. Apa maksudnya? Apa jangan-jangan...
Dia ingin meminta jawabanku? Jawaban yang sudah ia tunggu selama 5 tahun itu?
“Tunggu, jangan salah paham, Akane-chan. Aku belum
ingin meminta jawabanmu. Aku hanya ingin berterima kasih padamu,” dia buru-buru
menyela.
Aku memiringkan kepala. “Apa maksudmu? Jujur saja,
Akira-kun, aku merasa heran dengan sikapmu hari ini. Pertama, kau mengajakku ke
taman bermain ini, walaupun sudah tahu kalau aku punya janji dengan Kana.
Kedua, kau bersikap agak protektif padaku, seolah-olah aku masih berumur 5
tahun :\” kataku dengan penuh rasa keheranan.
Akira-kun menjawab, “Tidak, aku punya alasan untuk
itu.”
Sambil berjalan menjauh dari stand minuman,
Akira-kun menjelaskan apa maksudnya.
“Maksudku, aku tidak ingin kehilanganmu. Kau tahu
sendiri, bukan, belakangan ini ada penculikan yang terjadi di taman ini. Dan
yang diculik bukan hanya anak-anak, tapi juga mahasiswi, sepertimu.
“Karena itu, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak
kehilanganmu. Sudah cukup bagiku untuk kehilangan Kyoko. Dan aku tidak ingin
kehilangan kamu. Aku tidak mau kehilangan orang yang aku cintai untuk kedua
kalinya..” dia menjelaskan dengan suara pelan, tapi aku bisa mendengar
suaranya. Di tengah-tengah keramaian ini, suaranya terdengar sangat jelas.
Iya, aku tahu bahwa belakangan ini sering terjadi
penculikan di taman bemain ini.Tapi, dia, kan masih bisa mengajakku ke taman
bermain di tempat lain.
“Tapi kenapa kamu mengajakku ke sini? Padahal kamu
sendiri tahu kalau di sini sudah terjadi banyak penculikan,” kataku heran.
Akira-kun mendesah. “Ini tempat terakhir kalinya aku
sekeluarga pergi bersama. Sebelum Kyoko divonis terkena kanker paru-paru... Aku
ingin mengenang masa-masa itu,” dia menjawab sambil menerawang. Memandang
cakrawala yang tidak ada batasnya.
Dan entah kenapa, tiba-tiba aku mendapat ide. Ide
yang cukup konyol untuk kami lakukan, tapi aku yakin bahwa Akira-kun
menyukainya.
“Akira-kun, karena kau sudah mengajakku ke sini, aku
ingin mengajakmu ke suatu tempat,” aku berkata, sambil berharap bahwa dia
setuju.
Dia tersenyum. “Boleh. Ke mana?”
“Sebelum itu,” aku berkata sambil tersenyum, “aku ingin
berkata bahwa kau adalah orang kedua yang mengerti tentang diriku. Jadi,
terimakasih.”
Senyum Akira-kun semakin mengembang. “Sama-sama. Aku
juga senang kalau aku bisa mengerti dirimu.”
Tiba-tiba, aku merasa bahwa mukaku mulai memerah.
Memikirkannya saja pasti membuatku seperti ini. Jadi aku segera menarik
tangannya, dan mengajaknya ke pantai.
-*-
Tidak perlu hal-hal
yang rumit untuk membuat seseorang yang kau cintai bisa merasakan kasih Tuhan.
“Wow...”
Warna jingga berpendaran di atas laut. Sementara
itu, debur ombak membasahi batu karang yang berada jauh dari kami.
“Aku tahu.” Aku tersenyum, puas karena bisa melihat
wajah Akira-kun yang puas terhadap pemandangan sore itu.
“Itu adalah sunset yang paling berkesan dalam hidupku. Terimakasih, Akane-chan,” dia tersenyum senang.
Aku meringis. “Sama-sama. Omong-omong, kenapa kau
bisa berkata bahwa sunset ini adalah sunset paling berkesan dalam hidupmu?”
tanyaku penasaran.
“Karena,” dia menggenggam tanganku, “aku bisa
menikmati sunset ini dengan orang
yang kucintai.”
Aku bisa merasakan bahwa wajahku semakin memerah dan
panas. Bersyukur karena sinar matahari
terbenam itu cukup menutupi semu merah di wajahku. Dan jantungku juga
berdetak lebih kencang.
“Dan aku berharap, bahwa kamu akan menjawab apa yang
kamu rasakan padaku. Cepat atau lambat.”
Aku tersentak. Tidak, aku belum bisa memberitahunya
tentang jawabanku.
“Terimakasih,” aku tersenyum, “aku berharap bahwa
aku akan mengatakannya padamu hari ini. Tapi... aku kehabisan kata-kata ketika
kamu berbicara seperti itu barusan. Aku bersyukur karena aku bisa menghabiskan
waktuku bersamamu. Karena dari situlah, aku belajar untuk membuka mataku
terhadap sesamaku. Aku belajar untuk bergumul tentang pasangan hidup. Aku belajar
juga bagaimana cara untuk mengampuni. Dan aku belajar bagaimana aku bisa untuk
membuat orang yang kucintai agar tetap bahagia.”
Dia melihat tanganku yang ada di dalam genggamannya.
“Aku senang, bahwa kau belajar banyak selama ini. Dan yah... Aku juga belajar
banyak darimu. Belajar bagaimana caranya agar bisa membuat oang yang kucintai
tetap tersenyum, belajar bagaimana menjaga intergritasku di hadapan Tuhan. Aku
juga belajar agar tidak memikirkan kepentinganku sendiri. Dan aku juga belajar
untuk bisa memuliakan Tuhan melalui hidupku,” Akira-kun berkata sambil
memandangiku.
“Ayo, kita pulang. Dan Akane-chan, terimakasih lagi.
Aku bersyukur karena bisa mengenalmu. Karena dari situlah, aku menyadari bahwa
cinta-Nya padaku, padamu, dan juga pada orang lain itu tidak terbatas.”
Dia mengajakku menyusuri pantai, dan kemudian pulang
ke rumah dengan naik shinkashen.
-*-
“Aku punya hadiah untukmu,” kataku, setibanya aku di
depan rumah.
Akira-kun bertanya, “Apa?”
Aku tersenyum. “Lihat saja di atas meja tamu di rumahmu.
Sampai jumpa Akira-kun. Terimakasih, karena telah membuat hari ini berwarna
bagiku.” Aku berkata sambil memandanginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar