Aku berjanji akan selalu bersamamu, baik di saat susah,
di saat senang, saat sakit, saat sehat, dan sampai maut memisahkan kita
“Belum sebulan
kepergian Kyoko. Sekarang giliran Akira. Ya Tuhan... Apakah ini semacam ujian
kepada kami?” Tante Harumi berkata lirih saat melihat anak laki – lakinya
dibawa ke ruang perawatan.
“Untung ada
Akane. Terima kasih, ya, Akane. Entah apa jadinya kalau Akira hanya pulang
sendirian tadi,” kata Paman Yamato.
Aku cuma bisa
duduk lemas setibanya di klinik. Setelah tiba di sini, aku langsung menghubungi
orangtua Akira-kun, Wataru, dan orangtuaku (kalau aku pulang terlambat).
“Bukan aku, tapi
Tuhan yang menjaga Kak Akira. Kalaupun aku nggak ada di situ, Tuhan pasti juga
menjaga Kak Akira,” kataku sambil menerawang.
Orangtua-nya
tersenyum. “Iya, itu benar. Oh, dokternya sudah keluar,” Paman Yamato mengajak
kami untuk mendatangi si dokter.
Dokter itu
tersenyum. “Anak Anda baik – baik saja. Hanya perlu obat merah, betadine, dan
tensoplas untuk menyembuhkannya. Oh, dan juga es batu 8) Sekarang dia sedang
tidur,” kata beliau menenangkan kami.
“Terimakasih,
Tuhan...” Tante Harumi mengucap syukur. Kemudian beliau mengajak suaminya untuk
kembali ke lobi.
“Otoosan, Okaasan...” terdengar suara Akira-kun dari balik pintu. Tante
Harumi dan Paman Yamato langsung masuk ke dalam kamar.
“Akira! Apa yang
terjadi? Kenapa badanmu bisa banyak memar begini?!” tanya mereka langsung.
Akira-kun
tersenyum lemah. “Aku nggak apa – apa, kok. Tadi ada segerombolan orang yang
menghajarku karena berlagak sok di depan mereka. Padahal, mereka telah melukai
dan merampok sepasang suami istri di dekat jalan yang kulalui bersama dengan
Akane,” jawab Akira-kun.
“Apa itu benar,
Akane?” tanya Paman Yamato. Dan aku mengangguk.
“Oh, ya. Kalau
nggak salah, anak tetangga kita juga terlibat dalam peristiwa itu. Sekarang
orangtuanya sedang berada di kantor polisi,” tambah Tante Harumi.
“Ehm, aku ingin
berbicara dengan Akane,” kata Akira-kun, “boleh, kan?”
Orangtuanya
tersenyum. “Baiklah, Nak. Kami akan kembali ke lobi,” kata Paman Yamato sambil
mengajak istrinya keluar.
-*-
“Maaf.”
Itu kata pertama
yang diucapkan Akira-kun.
“Karena aku,
Akane-chan jadi repot juga,” katanya sambil menggaruk – garuk kepalanya.
Aku menggeleng.
“Oh, nggak. Nggak apa – apa, kok. Aku senang bisa menolongmu J” kataku sambil tersenyum.
“Dan
terimakasih, karena kamu telah menolongku,” Akira-kun menggenggam tanganku. Dia
tersenyum senang.
“Bagaimana
denganmu? Apa kamu nggak apa – apa?” tanyanya. Wajahnya terlihat cemas.
Aku menjawab
dengan terus tersenyum, “Nggak, aku baik – baik saja, kok. Dan, terimakasih. Saat
kamu terluka-pun, kamu tetap melindungiku dari mereka.”
Dia tertawa.
“Aku sudah janji pada kakakmu, bahwa aku akan melindungimu,” katanya.
“Bukan karena
kalau Akira-kun nggak melindungiku, nanti persahabatan kalian putus?” tanyaku
(duh, introgasi :\)
Akira-kun
menggeleng. “Bukan. Dari hatiku sendiri, aku memang ingin melindungimu.”
Kalimat yang
barusan diucapkannya membuat jantungku berdebar lebih keras dari biasanya. Oi oi...
“Tapi kenapa?”
aku masih ingin tahu jawabannya.
Dia menarik
nafas, dan kemudian menjawab,
“Karena aku
mencintaimu.”
DEG
Rasanya
jantungku ingin melompat ke bawah :X
“Orang yang
mencintai seseorang, pasti nggak akan membiarkan dia menderita, kan? Begitu
juga denganku. Aku nggak akan membiarkan orang lain melukaimu, Akane-chan,”
lanjutnya.
Aku, kok jadi
ingin menangis, sih? L Ya ampun... Seorang cowok yang lagi sakit begini menembakku?!
“Dulu aku hanya
sebatas menyukaimu (oh, begitu ya -__-). Dan jujur, rasanya aku ingin marah
saat kamu menolakku.
Tapi, sekarang
aku sadar. Kamu menolakku karena kamu memang menahan diri, kan? Kamu masih
ingin berteman dulu, dan baru akan memutuskan keputusanmu beberapa tahun lagi.
Akane-chan persis dengan Kyoko. Dia memang sedang menyukai seseorang, walaupun
terakhirnya aku baru mengerti kalau dia menyukai Pak Kirishima. Kyoko bilang,
kalau dia akan mengungkapkan perasaannya kalau dia sudah mau kuliah. Tapi
sepertinya, dia sudah bilang duluan... Beberapa saat sebelum dia pergi...”
Baru kali ini
Akira-kun berbicara panjang lebar seperti itu. Dan sayangnya, aku nggak bisa
menyuruh air mataku untuk berhenti keluar.
“Akane-chan, aku
senang karena kamu mau mengenalku beberapa hari ini. Kamu tahu, dari situlah
aku mendapat inspirasi tentang cita – citaku,” katanya lagi.
Aku memiringkan
kepala. “Hah? Inspirasi?” tanyaku heran sambil mengusap air mata.
“Pianis. Aku
suka memainkan piano, dan sudah memainkan banyak lagu klasik. Kamu harus
mendengarnya. Sudah lama aku nggak main piano, sejak aku masuk SMP. Tapi,
sewaktu aku ketemu sama kamu lagi, aku jadi teringat cita – citaku yang dulu
untuk jadi pianis. Dan bukan cuma itu, aku juga ingin membuat laguku sendiri,”
jawabnya sambil tersenyum.
Ya ampun, aku jadi inspirasi kakak sahabatku...
“Kamu mau
membantuku, kan? Untuk mewujudkan cita – citaku ini?” kata Akira-kun penuh
harap.
“Sebelum itu,”
kataku, “aku ingin ngomong sesuatu sama Akira-kun.”
Harus kuakui,
aku masih ingin ngobrol banyak sama dia. Cuma, ada satu hal yang ingin
kuungkapkan padanya...
“Ehm... Awalnya,
aku sama sekali nggak berminat untuk mengenal Akira-kun. Bahkan, dulu aku nggak
suka sama Akira-kun,” kataku (mengakui).
Mata hitam
Akira-kun membesar. Tapi dia tersenyum. “Lanjutkan, Akane-chan.”
“Dan, aku sama
sekali nggak tahu kalau ternyata Akira-kun nggak seburuk yang kukira. Saat
Kyoko sudah nggak ada lagi, aku melihat bahwa Akira-kun benar – benar
menyayangi Kyoko. Waktu itulah aku sadar, bahwa ternyata Akira-kun memang
sayang sama keluarga.
Terus, waktu aku
mengajak Akira-kun ke mall... Sebenarnya, waktu itu aku sedang melaksanakan
janjiku pada Kyoko, untuk menjaga Akira-kun. Aku ingin lebih mengenal, siapa
sih, kakak Kyoko itu.
Dan tadi, waktu
ada cowok yang berusaha menyentuhku, Akira-kun berusaha untuk melindungiku. Aku
tahu dari situ, bahwa Akira-kun akan melakukan apapun untuk melindungi orang
yang Akira-kun sayangi...,” kataku panjang lebar.
“Bukan cuma disayangi,
Akane-chan,” potong Akira-kun, “tapi yang dicintai J”
Aku melanjutkan,
“Aku ingin kita hanya menjadi sahabat. Setidaknya untuk saat ini. Akira-kun mau
menungguku, kan?”
Akira-kun
mengangguk. “Aku akan menunggu sampai kapanpun,” janjinya.
“Dan, oh ya. Aku
akan membantumu untuk meraih cita – citamu J” kataku.
Genggaman
Akira-kun terasa sangat lembut, kemudian dia melepaskannya dan berkata, “Thankyou, my dear. I’ll always waiting for
you. In the happiness, in the sadness, when you’re ill, when you’re in health,
until the death separate us.” – mengutip janji pernikahan :3
Harus kuakui,
kata – katanya membuatku sadar bahwa aku harus tetap bergumul di dalam mencari
pasangan hidup. Tapi, terimakasih, Akira-kun. Kakak mau menungguku.
Tuhan, aku ingin memiliki pasangan hidup yang sesuai
dengan kehendak-Mu. Agar di dalam keluarga kami, nama-Mu semakin dimuliakan....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar