Yu-huuu :D
Januarinya sesuatu sekali :3 ehehehe~
Dan di awal Februari ini (tanggal 1), sudah ada beberapa pengalaman unik yang terjadi. Hahaha XD dan yang berhasil membuatku cengoh untuk beberapa saat...
Well.. Ini adalah ceritaku yang (sempat) kuikut-sertakan untuk lomba menulis cerita. Dan ceritaku nggak jadi juara :( Too bad... #kecewa
Tapi nggak apa-apa, toh aku masih bisa mengeposkan ceritaku itu ke blogku XD semoga kalian menyukainya.
Give your comments, please ^^ Gomawo :)
Untuk dia, yang menjadi keluarga, teman, sahabat, kakak rohaniku...
Bintang-bintang
semakin sulit dilihat di kota itu. Semakin banyak polusi yang menumpuk di
udara, membuat nafas jadi sesak saja. Padahal, sekitar empat tahun yang lalu,
bintang–bintang masih bisa dilihat di kota ini dengan mudah.
Kota
Solo memang tidak seramai kota besar lainnya. Namun—tetap saja—polusi yang ada
di kota ini sudah sangat cukup menutup keberadaan bintang–bintang yang ada di
langit. Dan Eunike sedikit kecewa karenanya.
Walaupun
malam kali ini termasuk cerah, namun sulit bagi Eunike untuk melihat bintang. “Mungkin
karena pengaruh lampu–lampu yang menancap di pinggir jalan,” pikirnya sambil
memotret di dekat jembatan.
Ini
adalah malam pertama Eunike keluar untuk merayakan hari Imlek, bersama dengan
teman–teman sefakultasnya. Gadis yang baru saja menjadi mahasisiwi di
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) itu betul–betul menyukai pemandangan
malam ini. Dia telah menyiapkan kamera analog yang biasa dipakai oleh
fotografer profesional untuk memotret. Rencananya, dia akan mengikutkan foto–foto
yang diperolehnya ke pameran foto di universitasnya.
Lampion–lampion
di atas jembatan itu tersusun dengan rapi. Pemandangan di Pasar Gede malam itu
benar–benar indah. Dan akan sangat disayangkan jika pemandangan semacam itu
dilewatkan oleh mahasiswi jurusan desain komunikasi visual seperti Eunike.
“Setidaknya
dua gambar untuk saat ini,” gumam Eunike sambil memotret ke arah keramaian di
sekitar stand makanan.
Ia
melihat ke arah laki–laki yang sedang mengantri membeli babi kuah dan tahok (semacam tahu yang belum selesai
dibuat, yang biasanya diminum bersama dengan air jahe) di sebuah angkringan (pikulan yang biasa dibawa
oleh penjual di pasar untuk menjajakan dagangannya). Laki–laki itu balas
melihatnya, dan tersenyum ke arahnya.
Laki–laki
itulah yang membantu Eunike untuk kembali berjalan, di atas puing–puing
kekecewaannya sejak delapan bulan yang lalu, ketika mereka lulus SMA.
-*-
“Eunike,”
panggil Cheryl sambil melambaikan tangannya.
Eunike
yang sedang mengobrol dengan Timotius, salah satu sahabat dekatnya di SMA
negeri itu, memalingkan wajahnya, dan melihat Cheryl sedang tersenyum ke
arahnya. Di sampingnya, berdirilah seorang laki–laki yang nampaknya tidak asing
bagi Eunike.
“Ke
sini sebentar. Ada yang mau dibicarakan oleh Christo,” Cheryl menggamit tangan
temannya ke arah Christopher, salah satu kakak kelas Eunike.
Sontak
wajah gadis itu memerah. “Cheryl, kenapa dia harus bicara denganku, sih? Aku nggak siap, tahu,” kata Eunike
sambil menggoyang–goyangkan tangannya. Dia menatap dengan memelas ke arah
Timotius yang sedang tersenyum nyengir ke arahnya.
“Jarang–jarang
kamu bisa ngobrol berdua sama Kak Christo, lho. Sudah sana. Aku menunggumu,
kok,” kata Timotius sambil masih tersenyum.
Eunike
hanya mendengus pelan, lalu berjalan ke arah Christo yang menunggunya dengan
sabar.
“Jadi,”
Eunike berkata, “ada apa, Kak?”. Dahinya sedikit berkerut, memikirkan apa yang
akan dikatakan oleh Christo. Sementara itu, tangannya ditarik oleh laki–laki
itu ke taman di sebelah aula sekolah.
Christo
menghela nafas, lalu menjawab, “Tolong katakan yang sebenarnya padaku.”
Eunike
memiringkan kepala. Yang sebenarnya? Apa
maksudnya?
Seolah
bisa membaca pikiran gadis itu, Christo melanjutkan, “Ada seorang temanmu yang
bercerita padaku, tentang apa yang kamu rasakan. Jawab yang jujur, ya, Ke.”
Tuhan, tolong jangan sampai dia
tahu apa yang kurasakan, batin Eunike.
“Ya?”
Eunike mencoba untuk menatap orang yang berada di depannya saat ini, “apa,
Kak?”
“Aku
sudah punya yang lain. Maaf.”
Jantung
Eunike serasa berhenti berdetak. Tidak
mungkin, pikir Eunike sambil menggelengkan kepalanya.
“Kak Christo pasti
bohong,” Eunike berkata sambil mencoba menahan rasa sakit di dadanya.
Christo
menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku tidak bohong, Ke. Aku sudah punya orang
yang telah menempati hatiku sekarang,” kata Christo dengan yakin. Matanya
menunjukkan tidak ada kebohongan di sana.
“Kalau
boleh aku tahu,” Eunike berkata sambil memohon, “siapa orangnya, Kak?”
Hanya
dengan satu kata, Eunike merasa dunianya gelap seketika.
“Cheryl.”
Timotius
yang heran melihat wajah Eunike yang pucat langsung menghampirinya. Eunike
terlihat bengong dan lemas saat melihat Cheryl tersenyum sinis ke arahnya.
Ditambah dengan penjelasan bahwa Cheryl dan Christo telah berpacaran sejak dua
bulan yang lalu, membuat dunia Eunike semakin gelap. Dan hancur tak bersisa.
“Maaf,
ya, Eunike. Tapi sekarang, Christo sudah jadi milikku. Ya kan, Koko (sebutan
kakak laki–laki dalam kebudayaan Cina)?” Cheryl berkata sambil menggandeng
tangan Christo dengan mesra.
Christo
tersenyum kecil. “Tentu, Nik (singkatan ‘Nonik’, sebutan adik perempuan dalam
kebudayaan Cina),” jawab Christo.
“Sahabat
macam apa kamu ini!? Merebut orang yang disukai sahabatnya sendiri!”
Dua
kalimat itu menyebabkan Eunike tersadar dari keterpurukannya. Timotius berkata
sambil menatap tajam ke arah Cheryl. Yang ditatap hanya mengangkat bahu.
“Well... Eunike tidak agresif, sih. Jadi,
Koko milikku sekarang,” Cheryl menjawab sambil mengedipkan mata.
“Kamu
cocok sekali dengan Eunike, Tim. Kenapa kamu tidak jadi pacarnya saja? Orang
bilang, kalau ada perempuan dan laki-laki yang wajahnya sama itu jodoh, lho.
Wajahmu dan wajah Eunike, kan mirip...,” lanjut Cheryl sambil tertawa kecil.
Timotius
menghiraukan kata-kata Cheryl dan mengalihkan pandangannya ke Eunike. Tidak. Ini bukan Eunike yang kukenal. Eunike
yang kukenal adalah Eunike yang tegar dan tetap tersenyum ketika kondisinya
sulit, bukan Eunike yang terlihat lemas seperti ini! pikir Timotius cemas.
“Tutup
mulutmu, Cheryl! Kamu ini keterlaluan!” Timotius menghardik Cheryl. Dan gadis
itu langsung terdiam saat mendengar hardikan Timotius.
Tiba-tiba,
Eunike menggamit tangan Timotius. Tangannya bergetar, dan terasa dingin.
Timotius benar-benar cemas melihat gadis itu.
“Aku
mau pulang,” katanya pelan pada Timotius. “Maaf kalau aku hanya jadi pengganggu
hubungan kalian berdua,” kata Eunike sambil menatap sepasang sejoli yang
‘kejam’ itu. “Permisi.”
Sebelum
mengejar Eunike yang langsung meninggalkan mereka, Timotius bergumam, “Aku kecewa,
karena Eunike mempercayaimu sebagai sahabatnya, Cheryl.”
-*-
Kenangan
itu sempat terputus, saat Eunike melihat Timotius sedang berdiri di depannya,
dengan membawa dua piring berisi babi kuah.
“Kau
baik-baik saja, Ke?” tanyanya sambil meletakkan dua piring itu ke atas meja
mereka.
Eunike
mengangguk. “Aku baik-baik saja. Mana yang lain?” tanyanya sambil tersenyum.
“Mereka
mau jalan-jalan dulu, kok. Jadi kita makan berdua dulu saja. Oh, ya. Aku akan
mengambil tahok-nya. Tunggu, ya,”
Timotius berkata sambil melambaikan tangan ke arah gadis itu, dan berjalan
menuju ke angkringan tahok.
-*-
“Tim,
bisakah aku bertemu denganmu?” tanya Eunike melalui telepon pada Timotius.
“Boleh
saja,” jawabnya. Ia tahu bahwa di saat-saat seperti ini, Eunike butuh orang
yang bisa dipercayai.
“Kapan?”
“Sabtu
besok? Jam 3 sore, di Exclesso?” Eunike mengusulkan.
Timotius
mengangguk-angguk, walaupun saat itu Eunike tidak bisa melihatnya. “Boleh. Tapi
aku tidak bisa lama-lama. Jam 5-nya aku pelayanan musik di gereja. Hehehe...,”
jawab Timotius.
“Hahaha...,”
Eunike tertawa, “aku juga, kok. Jam 5-nya aku juga ke gereja.”
“Aku
senang, kamu bisa tertawa lagi, Ke.”
Dan
detik itu juga Timotius tidak mengerti, kenapa dirinya harus mengatakan hal sebodoh
itu.
“Hm,”
gadis itu bergumam, “aku juga tidak tahu, Tim. Mungkin karena aku sudah bisa move on
darinya?” tanyanya.
Timotius
menjawab, “Entahlah. Oh, aku tahu. Bagaimana kalau setelah kita ngobrol, aku
mengantarmu ke gereja?”
“Boleh
saja,” Eunike meringis. “Thanks, Tim.
Kau memang betul-betul sahabat.”
Dan
Timotius tidak mengerti, kenapa dengan satu kalimat terakhir itu ia bisa merasa
begitu bahagia.
-*-
“Maaf,
lama ya?” Timotius membawa dua mangkuk berisi tahok. Dia meringis ke arah Eunike yang tersenyum ke arahnya.
“Nggak
apa-apa, kok. Yey... Aku suka minuman ini,” Eunike menyendok tahok-nya. Timotius tersenyum melihat
sahabatnya itu.
“Aku
jadi teringat saat kamu hampir saja menumpahkan espresso milikmu sewaktu kita
ke Exclesso delapan bulan yang lalu,” kata Timotius.
Eunike
memiringkan kepala. “Oh, ya? Aku kok, lupa ya?” tanya gadis itu dengan wajah
polos.
“Apa
perlu kuceritakan? Hahahaha... Taruhan kamu pasti malu nanti,” Timotius tertawa
melihat Eunike yang sedang (mencoba) berpikir.
“Biarkan
aku berpikir dulu, oke? Kalau sudah mentok
(bahasa Jawanya ‘tidak bisa dilanjutkan), aku akan bertanya padamu. Hehehe...,”
kata Eunike sambil tertawa kecil.
“Oke,
terserah kamu deh.” Timotius mencoba menahan tawanya, takut kalau tawanya bisa
membuyarkan pikiran gadis itu.
-*-
“Mbak, ini rame banget lho. Saya nggak yakin
bisa muter kalau sudah sampai di
sana,” ujar supir taksi yang ditumpangi Eunike.
Entah
ada demo atau apa, tapi jalanan menuju ke Solo Square begitu ramai. Eunike
mengeluh dalam hati, “Pasti dia udah garing nungguin aku.”
Setibanya
di depan rumah sakit Panti Waluyo, Eunike menyerahkan uang tip kepada supir
itu.
“Ya
udah, Pak. Aku turun di sini aja. Makasih ya, Pak,” kata Eunike sambil turun
dari taksi. Dan dia langsung berjalan menuju ke Solo Square.
Perlu
10 menit lebih baginya untuk bisa tiba di Solo Square. Setibanya di pintu
masuk, dia langsung menuju ke Exclesso. Dan menemukan Timotius yang sedang
membaca novel di sana.
“Maaf,
aku telat. Macet di depan Panti Waluyo,” kata Eunike sambil tersenyum padanya.
Timotius balas tersenyum.
“Nggak
apa-apa, kok. Oh, iya. Aku sudah pesan kopi dan makanan. Kamu pesan aja sana.
Aku yang traktir,” kata Timotius.
“Lho?”
gumam Eunike protes, “kan, aku yang ngajak kamu ke sini. Harusnya aku yang
bayar, dong!”
Timotius
menggelengkan kepalanya. “Kamu cepet pesan aja. Kasihan mbak-nya, lho. Nanti
dia garing gara-gara nungguin kamu,” kata Timotius sambil meringis ke arah
pelayan yang sedari tadi menunggu dua sahabat ini.
“Iya,
Mas ini dari tadi nungguin Mbak, lho. Beruntung, ya punya pacar kaya dia,
Mbak,” kata si pelayan sambil tersenyum lebar melihat ‘pertengkaran’ kecil
Eunike dan Timotius.
Eunike
mengelak, “Bukan, Mbak. Dia sahabat saya, kok. Oh, iya. Saya pesan coffee float dan sandwich, ya.” Dan dia langsung duduk di depan Timotius, sementara
si pelayan ke dapur.
“Mbak-nya
itu, kok bisa mengira aku pacaran sama kamu, sih?” tanya Eunike keheranan.
Timotius
mengangkat bahu. “Entah. Mungkin kita jodoh kali,” jawab Timotius asal sambil
nyengir. “Wajah kita mirip, kan?”
Eunike
mendengus pelan. Lalu tertawa. “Hahaha... Kamu percaya sama yang begituan, ya,
Tim? Sama seperti Cheryl,”’ dia berkata di sela-sela tawanya.
“Nggak,
sih. Aku percaya, kok, kalau journey mate
itu diatur Tuhan. Asal kita percaya kalau Dia ngasih yang terbaik buat kita,”
kata Timotius sambil tersenyum kecil.
“Wow,”
Eunike bergumam, “benar itu. Hehehe... Just
trust in Him, and wait until the right time when He’ll give you your journey
mate.”
“Maaf,
deh, buat yang ujian bahasa Inggrisnya bagus,” ledek Timotius.
“Maaf,
deh, buat yang ujian Kimianya bagus,” Eunike balas meledek Timotius.
Dalam
hatinya, ia bersyukur karena punya sahabat seperti Timotius. Sahabat yang mau
diajak curhat meski sudah lewat tengah malam, sahabat yang mau memberinya
solusi ketika dia menghadapi kesulitan, dan sahabat yang suka menghiburnya
dengan cara-cara yang unik.
“Omong-omong
soal Cheryl, kamu sudah bisa move on
dari cowok itu?”
Pertanyaan
itu membuat Eunike berpikir sejenak. Oh, iya. Dia memang sudah mengampuni
Cheryl. Walaupun dia bersikap seenaknya seperti Sabtu lalu, tapi dia tetap
sahabat Eunike. Sedangkan Christo...
“Entah,
Tim. Aku nggak yakin bisa move on
darinya,” jawab Eunike ragu.
Timotius
mengerutkan dahi. “Kenapa?” tanyanya.
Gadis
itu mengangkat bahu. “Jarang sekali aku bisa berteman cukup dekat dengan
seorang cowok yang bisa dijadikan teladan. Dan Kak Christo itu teladan buatku.
Teladan dalam banyak hal,” jawabnya.
“Jangan
lupakan dia kalau dia memang berarti untukmu, Ke.”
Eunike
memandangi Timotius. Entah sejak kapan laki-laki itu jadi bijak, tapi dia
selalu merasa dikuatkan jika Timotius sudah mengungkapkan kata-kata bijaknya.
“Ke,
di luar sana masih ada cowok lain yang lebih pantas untukmu. Kamu baru lulus
SMA. Kenapa harus terburu-buru untuk pacaran? Apa kamu tahan pacaran selama
lebih dari lima tahun?” Timotius bertanya pada Eunike dengan pelan. Ia berusaha
untuk mencari tahu apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya itu. Dan mencoba
mencari sebuah harapan darinya.
“Iya,
aku tahu itu, Tim,” Eunike mendesah, “tapi entah kenapa, belakangan ini aku
sering kepikiran begini... Bagaimana kalau sewaktu kuliah nggak ada yang mau
sama aku? Bagaimana kalau banyak orang yang bilang kalau aku terlalu alim?
Bagaimana kalau aku...”
Kata-katanya
terhenti saat melihat tangannya yang sedang dalam posisi berdoa itu digenggam
Timotius. Laki-laki itu juga heran, angin apa yang tiba-tiba membuatnya bisa
seperti itu.
Yang
ia tahu pasti, ia ingin menguatkan hati gadis itu. Semampunya. Walaupun mungkin
gadis itu akan merasa bahwa ia adalah laki-laki teraneh yang pernah ia jumpai.
Ia
ingin agar gadis itu tahu, bahwa selama ini ia mendukungnya. Mendukung gadis
itu untuk jadi lebih baik.
“Jangan
pusatkan semuanya pada dirimu, Ke. Pusatkan semuanya cuma sama Tuhan. Dan kamu
nggak bakal kecewa, karena Dia pasti memberikan yang terbaik untukmu, walaupun
mungkin kamu nggak menyadarinya,” kata Timotius sambil tersenyum.
Eunike
terdiam. Tapi kemudian dia tersenyum.
“Kau
benar. Aku nggak sia-sia punya sahabat sepertimu, Tim,” katanya.
Si
pelayan yang sempat menyerocos tadi datang. Timotius segera menarik tangannya. Gawat kalau pelayan penyerocos itu tahu hal
ini, pikir Timotius.
“Selamat
menikmati,” pelayan itu berkata sambil meletakkan pesanan mereka ke meja, lalu
melanjutkan,
“Kalian
ini pacaran kan? Sampai pegang-pegangan tangan segala...”
Eunike
protes, “Nggak kok. Kami cuma sahabatan. Ya, kan Tim?”
Timotius
mengangguk, “Iya. Eh, Keke! Hati-hati! Cangkir ko...”
Cangkir
kopi Eunike nyaris tumpah saat tangan gadis itu menyemplak benda itu. Pelayan
itu segera menangkapnya dengan sigap.
“Hati-hati,
Mbak. Hampir saja kopinya tumpah. Permisi,” pelayan itu mengembalikan cangkir
itu dan berlalu dari situ.
-*-
“Oh,
kurasa aku sudah tahu, Tim,” Eunike meringis ketika mengingat kopi-yang-hampir-saja-tumpah.
Timotius mengalihkan pandangannya dari babi kuahnya.
“Ha!
Kau sendiri juga mau ketawa, kan? Hahahaha~” Timotius langsung tertawa saat
melihat ekspresi sahabatnya itu.
Melihat
Timotius tertawa, akhirnya Eunike-pun tertawa.
“Ahahahahaaaa~
Senangnya bisa tertawa lepas seperti sekarang,” katanya di sela-sela tawanya,
“makasih, Tim. Imlek kali ini benar-benar luar biasa.”
Timotius
tersenyum. “Aku senang, akhirnya kau berhasil move on, Ke,” ujarnya.
“Cuma
ada satu hal yang nggak aku mengerti!” tiba-tiba Eunike mengeluh, “kenapa kamu
ngotot menraktirku waktu itu?”
Ah, ya. Tentang itu.
“Karena kamu berhasil move on, Ke.
Itu sebabnya aku menraktirmu. Yah, anggap saja sebagai hadiah karena kamu
berhasil move on. Hehehe...,” jawab
Timotius.
Harus kuakui,
pikir Eunike sambil menyendok tahok-nya,
Timotius benar-benar sahabat yang luar biasa. Aku nggak menyesali
keputusan orangtuaku untuk menyekolahkanku di SMA itu.
“Hei,
lihat!” tiba-tiba Timotius menunjuk ke arah langit, “ada banyak kembang api!”
“Wow...”
Eunike bergumam kagum, “indah sekali!”
Timotius
melihat jam tangannya. “Wah, ayo Ke. Kita kelilingi kota ini,” katanya sambil
berdiri.
“Hah?”
Eunike mengerutkan dahi, “terus, bagaimana dengan teman-teman yang lain?”
tanyanya.
Timotius
tersenyum. “Aku sudah minta izin sama mereka. Ayo, Ke. Kita masih harus mencari
beberapa foto lagi untuk pameranmu, kan?” ujar laki-laki itu sambil menarik
tangan gadis di depannya.
Mereka
memotret bagian depan Loji Gandrung, keramaian jalan Slamet Riyadi,
menyempatkan diri ke bundaran Purwosari, dan ‘tur singkat’ mereka berakhir di
taman hiburan Sriwedari.
Di
Sriwedari, suasananya begitu ramai. Banyak anak yang bermain ke sana dengan
orangtua mereka.
“Aku
akan memotret pemandangan malam di sini, Tim,” kata Eunike sambil menyiapkan
kameranya, “suasananya ramai. Aku suka.”
Setelah
itu, mereka membeli arum manis yang terletak di dekat bianglala. Saat mereka
berjalan di depan bianglala, tiba-tiba, Timotius menghentikan langkah gadis
itu. “Tunggu. Aku mau berfoto denganmu,” katanya sambil menarik lengan baju
Eunike.
Gadis
itu kelihatan bingung saat melihat Timotius meminta tolong pada seorang satpam
yang ada di dekat situ, untuk memotret mereka berdua.
“Bergayalah
sesukamu, Ke,” kata laki-laki itu sambil tersenyum.
Eunike
tersenyum dan berpikir, “Baiklah. Kuturuti saja permintaannya.”
Dua
minggu kemudian, pameran dari fakultas DKV dimulai. Banyak orang yang melihat
karya dari mahasiswa fakultas itu. Termasuk karya dari Eunike, yang sejauh ini
menjadi karya yang disukai oleh orang-orang yang melihatnya.
Foto
itu adalah suasana Pasar Gede pada malam hari, saat perayaan hari Imlek.
Lampion-lampionnya terlihat nyata, orang-orang yang sedang menikmati malam hari
itu terlihat hidup.
“Eunike,”
panggil seniornya, “ada kado untukmu.”
Gadis
itu memiringkan kepalanya. “Dari siapa?”
“Rahasia,”
senior itu tersenyum, “tebak saja sendiri.”
Sambil
setengah menggerutu, dia membuka kado yang dibungkus dengan kertas kado biru
muda. Dan ia begitu kaget saat melihat kado untuknya itu.
Di
dalam bingkai yang bergambar Doraemon itu, terdapat sebuah foto Timotius dan
Eunike, serta 2 foto gadis itu. Eunike tidak tahu kapan laki-laki itu mengambil
gambarnya, tapi yang jelas, ia sangat terharu atas perhatian laki-laki itu
padanya.
Menikmati babi kuah, di bawah
sinar lampion di dekat Pasar Gede, tulis
Timotius di bawah foto Eunike yang sedang menyantap babi kuah sewaktu Imlek dua
minggu yang lalu.
Memotret pemandangan kota Solo di
malam hari, sebuah kegiatan yang diidamkannya sejak masuk DKV,
tulis Timotius di bawah foto Eunike yang sedang memotret Balaikota dan
sekitarnya sewaktu Imlek juga.
Tapi,
yang membuatnya tidak bisa berbicara untuk beberapa saat adalah saat ia melihat
foto mereka berdua yang sedang memegang arum manis di depan bianglala. Di bawah
foto itu tertulis, Menghabiskan waktu
bersama orang yang dekat denganmu akan membuat perasaanmu jauh lebih baik.
Eunike
menoleh ke sana kemari, mencari Timotius. Dia menyenggol temannya yang sedang
berdiri di sampingnya.
“Kamu
lihat Timotius?” tanya Eunike pada temannya itu. Temannya itu langsung menunjuk
ke arah kafe yang terletak tidak jauh dari situ. Eunike segera pergi ke kafe
itu. Dia melihat Timotius sedang tersenyum di depannya.
“Sudah
lihat kadoku?” tanya Timotius sambil mempersilahkan duduk gadis itu.
Eunike
mengangguk. “Sudah. Dan aku hampir tidak bisa berkata apa-apa sewaktu melihat
foto kita berdua,” jawabnya jujur, “terimakasih, Tim, untuk kadomu, untuk
perhatianmu. Untuk semuanya,” lanjutnya sambil tersenyum.
“Aku
ingin mengenalmu lebih dalam lagi, Ke.”
Kata-kata
Timotius meluncur begitu cepat, dan Eunike tercengang mendengarnya.
“Mak...
Maksudmu, kamu mau jadi pacarku?” tanya Eunike tidak percaya.
Timotius
menggelengkan kepalanya. “Tidak. Bukan itu. Kalaupun kamu mau, aku akan sangat
senang, Ke. Tapi aku tahu, bahwa kamu juga masih memikirkan banyak hal yang
jauh lebih penting daripada pacaran. Aku sendiri juga belum siap untuk
pacaran,” jawab Timotius dengan suara pelan.
“Aku
hanya ingin jadi sahabatmu, setidaknya untuk saat ini. Kurasa aku masih butuh
waktu untuk mengenalmu. Kau mau kan, Ke?” tanya Timotius dengan penuh harap.
Dada
Eunike terasa sakit. Bukan karena kecewa, atau karena dia sedih. Dia tidak
menyangka bahwa sahabatnya selama ini benar-benar sahabat yang mau ada untuknya
setiap saat.
Dia
ingin sekali menganggukkan kepalanya. Tapi ada satu hal yang masih mengganjal
di hatinya. Dia takut akan dikhianati lagi, sama seperti pengalamannya ketika
bersahabat dengan Cheryl.
“Kalau
aku tidak akan mengkhianatimu, apakah kamu akan berbuat hal yang sama?” tanya
Eunike, yang langsung dijawab dengan anggukan kepala Timotius.
“Ya.
Aku janji aku tidak akan mengkhianatimu,” jawabnya mantap, “dan aku akan berdoa
kepada Tuhan setiap hari, supaya aku tidak akan menyakiti hatimu,” tambahnya
dengan senyuman yang tulus.
Eunike
terdiam cukup lama. Tapi kemudian dia tersenyum, menyunggingkan senyuman yang
paling dirindukan oleh Timotius. Senyuman yang dapat membuat perasaannya jadi
lebih baik.
“Aku
mau.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar