Jadi ceritanya, beberapa waktu yang lalu aku pernah ikut lomba bikin cerpen di Line. Tapi berhubung ceritanya (mungkin) sooo krik krik, jadi nggak menang deh :p Hehe. Makanya kutaruh di sini lol. So, ini dia :) Btw, maafkan daku kalo ceritanya gaje dan ambigu haha.
--**--
Suasana
di asrama kampus Eustachiusa Dumbledore sangat sepi. Hanya ada suara jangkrik
dan hembusan angin yang terdengar. Entah karena mahasiswa di sini adalah
mahasiswa strata dua (S2), jadi sebagian besar waktu digunakan untuk
mengerjakan tugas dan penyelesaian tesis. Hm... tetap saja, suasananya terlalu
kelewat sepi kalau begitu.
“Duh,
pasti semua orang sebel gara-gara aku telat!” aku mengomeli diriku sendiri
sambil berjalan melintasi lorong asrama.
Derak
kayu di sepanjang lorong membuatku semakin terburu-buru, seolah-olah lantai
kayu itu dapat patah dan menghasilkan lubang besar yang dapat menelanku
hidup-hidup. Langkahku semakin cepat saat menyadari bahwa kamar-kamar yang
kulalui terlihat sunyi. Nggak ada seorang pun yang kujumpai di sini. “Hm, mungkin mereka emang udah di ruang
santai semua, ya?” pikirku.
Begitu
tiba di dekat tangga, aku menarik nafas lega. Ternyata ketakutan tadi cuma
mengada-ada. Maksudku, mana ada lantai yang terbelah dan bisa menelan
orang—selain di dalam film dan buku bacaanku itu? Sambil mendesah, “Huh, jangan-jangan ketakutanku itu gara-gara
baca novel tadi malam?” aku pun menuruni tangga, berbelok ke kanan, dan
akhirnya sampai di ruang santai yang terletak di ujung kiri lorong.
“Maaf,
aku telat!” aku berseru dan menggeser pintu ruangan itu.
Detik
berikutnya, aku jadi kehabisan kata-kata saat melihat apa yang mereka lakukan
di sana.
Semua
orang menatap ke berbagai arah, tapi nggak ada gerakan dan suara yang muncul.
Tatapan mereka tampak kosong. Jess—teman sekamarku—sedang menyandarkan
kepalanya pada Jason, pacarnya. Yang lain tampak tertahan saat melakukan
sesuatu; seperti memainkan CD musik, menari, dan sebagainya. Apa mereka baru lomba siapa yang bisa jadi
patung terbaik? Atau apa? pikirku gelisah.
Tiba-tiba
aku teringat sesuatu. Mr. Roger, salah satu dosenku pernah bercerita bahwa
beliau dan rekannya telah membuat jam yang bisa menuju ke berbagai waktu yang
diinginkan pemakainya. Mr. Roger juga bilang bahwa jam itu masih disimpan di
ruang kerjanya, mengingat adanya kemungkinan alat itu bisa disalahgunakan oleh
orang-orang yang nggak bertanggung jawab.
“Tunggu
dulu!” pikirku panik, “jangan-jangan mereka... mengambil jam itu, dan gara-gara
itu mereka jadi patung seperti ini!?”
Pikiranku
semakin kacau saat melihat jam itu ada di atas meja di belakang Jess dan Jason.
Apa alat itu bisa memengaruhi semua orang di ruangan ini? Kalau benar, kenapa
aku—yang ada di depan pintu ruangan ini—nggak terkena dampak apa-apa?
Ya
ampun! Ini gawat! Mr. Roger bisa marah kalau sampai tahu alatnya ada di sini!
Aku segera meninggalkan ruang santai dan menuju ke paviliun beliau yang ada di utara
asrama. Yap, beliau juga merupakan salah satu dosen yang mengawasi mahasiswa
yang tinggal di sini. Mungkin hal ini cukup aneh bagi sebagian orang, tapi di
Ever After Land (termasuk kampus ini), dosen yang tinggal di lingkungan asrama
mahasiswa itu sudah biasa; dan Mr. Roger salah satunya.
“Mr.
Roger! Anda di dalam?” aku mengetuk pintu paviliun Mr. Roger. Lampu paviliunnya
menyala, tapi nggak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Apa beliau sedang
keluar dan lupa mematikan lampu?
“Mr.
Roger! Anda baik-baik saja, kan!?” aku kembali mengetuk pintu, tapi masih nggak
ada balasan dari beliau.
Tiba-tiba
aku tersentak. Apakah jam itu bisa memengaruhi semua penghuni asrama ini, dan
hanya aku satu-satunya yang nggak terpengaruh? Mungkin Mr. Roger nggak membuka
pintu karena beliau sedang melakukan sesuatu di dalam, dan jam itu menyebabkan
gerakan beliau terhenti?
Kemudian
aku meninggalkan paviliun Mr. Roger untuk pergi ke sekeliling asrama. Siapa
tahu ada yang bisa kujumpai untuk memastikan bahwa apa yang kulihat tadi bukan
hanya halusinasi. Tapi hasilnya... nihil. Nggak ada seorang pun yang kujumpai
di sekitar asrama. Ini aneh! Sekarang masih jam delapan malam, tapi nggak ada
seorang pun yang kutemui di sini. Apa semuanya sedang belajar di kamar
masing-masing...?
Saking
lelahnya, aku terduduk lemas di salah satu kursi ruang makan yang baru saja
kuperiksa. Apa mereka mencoba
menghindariku? Apa mereka menganggapku adalah mahasiswa yang aneh, karena
jarang keluar kamar? Pikiranku berputar-putar memikirkan mereka.
Akhirnya
aku menangis di salah satu kursi lobi asrama. Duh, ampun. Aku bukan tipe anak
yang mudah menangis hanya gara-gara alasan seperti ini. Tapi sebodo amat. Nggak
ada yang melihatku saat ini, kan? Jadi aku bisa puas menangis di sini...
“Beta?
Kamu ngapain di sini?”
Aku
tersentak saat mendengar suara yang sangat akrab di telingaku. “Nggak mungkin,” pikirku sinis, “aku pasti cuma
berhalusinasi.”
“Be,
ini beneran kamu, kan?”
Aku
nggak tahan lagi dengan suaranya yang tampak cemas itu. Jadi aku segera
mengusap air mataku dan menoleh ke arahnya. Ternyata betul. Aku kenal suara
itu, karena pemiliknya adalah Alfa, kekasihku sejak kami kuliah S1 di kampus
ini. Alfa baru saja lulus S2 bulan lalu, dan itu yang membuatku penasaran:
untuk apa dia ke sini?
“Hai,
Al,” aku mencoba tersenyum, “kamu ngapain di sini?”
“Harusnya
aku yang tanya,” dia mengerutkan dahi.
“Temen-temenku...
mendadak jadi aneh,” jawabku singkat.
“Maksudmu?”
tanyanya penasaran.
“Jess
tadi mengundangku untuk ke ruang santai asrama hari ini, jam delapan malam,”
aku menceritakan apa yang kualami beberapa saat yang lalu, “tapi waktu sampai
di sana, mereka jadi patung. Dan aku lihat ada jam pengatur waktu yang dibuat
Mr. Roger di sana...”
“Ohh...
terus kamu mikir kalo jam itu yang bikin mereka jadi patung?” sela Alfa.
Aku
mengangguk. “Iya.”
Dia
tersenyum, tapi senyumannya itu bukan senyuman biasa.
“Kenapa?”
tanyaku heran.
“Ayo
sini, ikut aku,” cowok itu menarik tanganku.
“Kita
mau ngapain?” aku menahan gerakannya.
“Ke
ruang santai. Ayo!”
Tanpa
mengetahui maksudnya, akhirnya aku menurut. Setidaknya aku telah menemukan
seseorang yang bisa kuajak bicara, setelah sebelumnya aku kebingungan setengah
mati mencari orang yang nggak mematung dan terdiam.
“Guys, Beta dateng!” tiba-tiba Alfa
berseru.
Entah
karena suara Alfa atau bukan, tapi tiba-tiba ruang santai terdengar gaduh. Begitu
mendengar suara, “BUK! GEDUBRAK!”, aku langsung merapatkan diri pada Alfa.
“Eh,
apaan itu?” bisikku.
Dia
nyengir. “Tenang, Be, tenang...”.
Setelah
Alfa membuka pintu, kami mendengar suara konfeti beserta terompet gulung. Aku
semakin ternganga saat melihat Jess dan Jason membawakan kue untukku.
“Selamat
ulang tahun, Beta!” seru semua orang yang ada di ruang santai.
“Astaga...,”
aku kehabisan kata-kata.
Well,
gimana nggak demikian, waktu aku melihat ruangan itu telah diubah menjadi
tempat untuk merayakan ulang tahunku yang ke-22? Di sisi kiri, ada balon-balon
dan meja panjang untuk berbagai kudapan. Sisi kanan ruangan memang nggak banyak
berubah, tapi tetap saja... aku terharu atas kejutan ulang tahun pada malam
ini.
“Thank you, guys,” kataku sambil menahan tangis haru (duh, mulai deh,
melankolisnya).
“Jangan
baper—bawa perasaan—dong, Be,” Alice menepuk-nepuk bahuku, “anggaplah ini
hadiah untuk keberhasilan tesismu. Untung surprise-nya
berhasil. Hahaha..”
“Iya,
nih, gara-gara si Rafa yang bikin lampionnya jatuh,” Jason nyengir ke arah
Rafa—satu-satunya teman cowokku yang berambut hitam.
“Maaf,
deh,” Rafa menggaruk-garuk kepala, “seenggaknya nggak ada yang pecah, kan?”
“Eh,
tunggu,” potongku sambil mengusap air mataku, “kalian tadi mengambil jamnya Mr.
Roger, ya?”
“Jam?”
Jess memiringkan kepala.
“Jam
itu ada di sini.”
Spontan
aku dan teman-temanku menoleh ke arah suara. Ternyata Mr. Roger! Beliau membawa
jam yang kumaksud itu!
“Jam
ini baru saja selesai. Tapi belum saya praktekkan karena menunggu waktu yang
tepat,” kata beliau, “hei, kenapa ruangan ini jadi berantakan?”
“Ah,
maaf,” Jess segera menyahut, “hari ini Beta ulang tahun, Mr. Jadi kami di sini
menggunakan ruangan ini sebagai tempat untuk merayakan ulang tahunnya.”
“Oh,
kamu ulang tahun, ya?” Mr. Roger menyalamiku, “selamat ulang tahun!”
Aku
tersenyum, “Terimakasih, Mister.”
“Eh,
Alice! Maaf!” tiba-tiba terdengar suara Ling-Ling, temanku yang suka mengepang
rambutnya, “aku nggak sengaja menumpahkan tehmu!”
“Oh,
iya! Nggak apa-apa kok, Ling!” Alice segera masuk dan ikut membantu Ling-Ling
membereskannya. Mereka ke arah.. meja di mana aku mengira jam Mr. Roger ada di
situ! Ya, ampun! Aku benar-benar berhalusinasi!
“Kalau
nggak salah, tadi saya dengar ada yang mengetuk paviliun saya,” kata Mr. Roger
lagi, “siapa, ya?”
“Ehm,”
aku nyengir, “maaf, Mister. Tadi saya sempat mengira jam Mister ditaruh di
sini. Ternyata saya salah lihat. Maaf, Mister.”
“Sudahlah,”
Mr. Roger tersenyum, “baiklah. Saya kembali dulu ke paviliun, ya. Tadi saya
cuma mau memeriksa kondisi di sini, kok. Selamat malam, anak-anak.”
“Selamat
malam, Mr. Roger!” balas kami sambil membungkukkan badan.
Saat
hendak memasuki ruang santai bersama teman-teman, Alfa menepuk bahuku dan
berbisik, “Tunggu. Aku mau kasih kamu sesuatu.”
Aku
mengerutkan dahi. “Kenapa, Al?”
Dia
mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya, dan membuka sebuah kotak kecil
dalam genggamannya. Di dalamnya ada sebuah liontin emas putih. Oh, wow...
“Selamat
ulang tahun, Be. Terima kasih karena telah bersedia mencintaiku sampai saat
ini. Semoga dua tahun lagi, aku bisa berdiri di depanmu dan mengucapkan janji
suci itu padamu.”
Aku
tersenyum. “Makasih, Al...”
“Ehm,
boleh aku mengalungkan liontin ini padamu?”
Sebelum
mempersilakannya mengalungkan liontin itu, aku bertanya padanya, “Surprise tadi juga idemu kah, Al? Kenapa
tadi semuanya kompak jadi patung waktu aku ke sini sebelumnya?”
Alfa
meringis. “Karena tadi mereka bingung harus berbuat apa waktu kamu sampai di
sini. Terus, aku punya ide buat bikin mannequin
challange gara-gara itu. Yaa, walaupun challange-nya
cuma berupa foto, sih.”
Aku
tertawa mendengarnya. Astaga, aku pasti terlalu mengagumi penelitian Mr. Roger,
sampai-sampai berpikir bahwa teman-temanku jadi patung karena jam itu. Ha! Lucu
sekali.
Sementara
Alfa mengalungkan liontin itu, aku berharap agar jam Mr. Roger bekerja—karena
aku ingin momen ini bisa terhenti beberapa saat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar