Selama dia masih ada, doakanlah agar dia
dipakai-Nya. Ketika dia telah pergi, doakanlah keluarganya, agar mereka
dikuatkan
Oyee~
sudah sampai yang ke-8!! ^^ Dan nggak
terasa bahwa aku sudah jadi murid SMA (y)
Sudah
satu minggu sejak aku menengok Kyoko. Seharusnya, hari ini dia pulang. Pulang
ke rumahnya di Tokyo.
Kriinggg~
#telepon
“Akanee~!!”
Otoosan memanggilku. Tapi ada kesan
aneh dalam nadanya. Sepertinya dia sedang cemas...
Aku
mengangkat telepon. Wataru.
“Ada
apa Kak?” tanyaku langsung. Yang ditanya terdiam sejenak, lalu menjawab,
“Akane,
aku nggak tahu harus bilang apa...”
Aku
mendengus, “Kak, kalau nggak tahu harus bilang apa, kenapa repot – repot
meneleponku?”
Wataru
terdiam. Sepertinya dia sedang mencari kata – kata yang tepat.
“Kyoko
baru saja tiba di Tokyo...”
Aku
membelalakkan mata. Kyoko kembali!! :D aku sudah sangat senang, sampai Wataru
melanjutkan,
“Tapi
dia langsung diopname di rumah sakit.”
Glek
Lalu, buat apa dia pulang ke
sini, kalau tiba – tiba kondisinya langsung drop begitu?! pikirku heran, cemas, gelisah, dan sebagainya.
“Dia
sudah tiba di sini dengan selamat. Yang menjemputnya tadi Akira. Kyoko dan
Akira sudah sampai di rumah mereka. Pada saat itulah, ada asap yang berjibun di
sekitar mereka. Dan sangat banyak! Masker yang dipakai Kyoko nggak sanggup
untuk menahan mereka. Akhirnya, dia langsung drop.”
Masukkan rasa syok di sini.
Aku
mencoba menghubungi Kana, setelah menutup telepon dari Wataru barusan. Setelah
mengirim SMS untuk Kana, aku berusaha untuk menghubungi rumah Kyoko.
“Kyoko berada di rumah sakit, Akane. Aku juga baru saja kembali dari sana. Kondisinya tiba – tiba memburuk,” Kak Akira mengulangi info
Ring a ding a dosies!!
“Aku sudah berada di rumah sakit. Kamu di
mana?” – Kana
-*-
Di
rumah sakit, aku melihat Wataru yang melihatku dengan cemas, disusul dengan
Kana, dan orangtua Kyoko.
Sebisa
mungkin aku mencari taksi yang kebetulan lewat di depan rumah, menuliskan memo
untuk orangtuaku, dan bergegas ke sini.
“Dokter
bilang, Kyoko masih hidup,” Tante Harumi berkata sambil setengah terisak. Paman
Yamato – ayah Kyoko – berusaha sebisa mungkin untuk tenang, sambil menepuk –
nepuk bahu istrinya dengan lembut.
“Tapi
kita tetap harus siap dengan kondisi terburuk,” tambah Kana muram.
Wataru
menepuk – nepuk bahu Kana. “Tenang saja, Kana. Percayalah bahwa dia akan baik –
baik saja..,” katanya.
Kana
melihatku. “Kamu tampak pucat, Akane. Mau makan sesuatu?” tanyanya cemas.
Aku
menggeleng. Tidak. Aku nggak mau apa –
apa sampai Kyoko bisa kembali sehat.
Paman
Yamato berkata padaku, “Akane, ayo duduk di sini. Paman akan melihat keadaan
Kyoko.” Dan beliau-pun pergi dari lobi.
Aku
duduk di samping Tante Harumi. “Bagaimana kondisi Kyoko, Tante?”
Tante
Harumi menjawab, “Masih hidup saja, Tante sudah bersyukur. Ternyata, Kyoko
sudah nggak bisa tinggal di Tokyo lagi. Terlalu padat penduduknya, dan terlalu
banyak asap yang berbahaya bagi tubuhnya.”
Kana
memberiku sandwich isi daging ham. Aku benar – benar khawatir tentang
Kyoko, sampai – sampai aku lupa untuk makan siang ini. Ya ampun...
“Terima
kasih, Kana,” aku menggigit sandwich
itu, sambil bergumam kecil.
Sandwich isi ham. Aku ingat karena ini adalah makanan favorit Kyoko. Ya ampun!
Aku ini kenapa, sih?! Kenapa semua hal hari ini selalu berkaitan dengan Kyoko?!
“Akane,”
Wataru memanggilku, “aku mau pulang dulu. Kamu masih tetap di sini, kan?”
Aku
mengangguk kecil. “He’eh. Hati – hati di jalan ya,” jawabku.
Dan
Wataru-pun menghilang dari pandangan.
“Nih,”
Kak Akira menghampiriku dan memberiku teh gelas. “Kamu bisa kena dehidrasi
kalau nggak minum sesiang ini,” katanya.
Apa
benar sesiang ini aku belum minum sama sekali? Seburuk itukah keadaanku, yang
mengkhawatirkan keadaan sahabatku?”
“Trims,”
aku menyahut pelan dan mengambil teh gelas itu. Teh gelas kesukaan Kyoko. Dia selalu membeli minuman ini di kantin...
Seorang
suster keluar dari kamar Kyoko. Dia menghampiri Tante Harumi, dan berkata bahwa
sang dokter ingin berbicara dengannya. Tapi masa bodoh. Aku, Kana, dan Kak
Akira membuntuti Tante Harumi.
Di
depan kamar Kyoko, aku melihat Paman Yamato sedang melihat Kyoko yang masih
belum sadar. Tapi yang jelas, dia masih hidup. Itu terlihat dari monitor yang
menunjukkan detak jantung Kyoko.
Kemudian
sang dokter berbicara pada kami.
“Kondisi
anak Anda tidak begitu baik. Paru – parunya memiliki lendir. Dalam kedokteran,
kami menyebutnya paru – paru basah. Dan penyakit ini lebih parah daripada
pneumonia,” kata dokter sambil mengusap kacamatanya.
Aku
melirik ke arah Kyoko. Paru – paru basah?!
Nggak mungkin! Kok, bisa?!
“Lalu
bagaimana sekarang? Apa cara yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan Kyoko?”
bisik Paman Yamato, melihat anak perempuan satu – satunya.
Dokter
menjawab, “Dioperasi. Hanya itu satu – satunya cara.”
“Dioperasi?!” Tante Harumi langsung
menjerit histeris, “tidak! Tidak operasi! Aku nggak mau Kyoko dioperasi lagi!!”
Paman
Yamato langsung memegang tangan istrinya *wao, aku rasa, bekerja sebagai
konselor anak – anak memang sangat berpengaruh
pada beliau*.
“Jangan
takut! Apapun yang terjadi pada Kyoko, kita harus terima! Hidup harus terus
berjalan, Harumi!” kata Paman Yamato, berusaha menguatkan Tante Harumi. Dan
Tante Harumi memegang kencang tangan Paman Yamato.
“Lakukan
yang terbaik, dokter. Kami mohon,” kata Paman Yamato, sambil mengajak kami
kembali ke lobi.
-*-
Aku
hanya bisa menyatukan tangan, memejamkan mata, lalu berdoa. Tuhan, Kyoko salah satu sahabat terbaikku.
Aku hanya berharap, kalau Tuhan masih ingin dia hidup, pakai dia di dunia ini.
Kalau Tuhan ingin dia pulang, kuatkan keluarganya...
Dan
di kepalaku, yang terdengar hanyalah
suara monoton dari monitor penunjuk detak jantung... Entah ini firasat atau
bukan, tapi yang jelas, dokter sudah menemui kami, dengan ekspresi yang tidak
bisa digambarkan.
“Maaf...”
Sudah
jelas bahwa Kyoko tidak tertolong.
Dan
yang bisa kulihat adalah, Kana memelukku dengan keras, Kak Akira meninju tembok
di dekatnya, dan Paman Yamato memeluk Tante Harumi yang kembali menangis.
Aku
melihat dokter itu. Seolah meminta kepastian. Dokter itu menggeleng.
Kyoko
telah pergi.
Dan
sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah menangis. Menangis karena Kyoko pergi,
menangis karena senang... Senang karena Kyoko telah bebas... Bebas dari
sakitnya.
Hidup harus berjalan terus! Paman Yamato berkata begitu,
beberapa saat sebelum Kyoko pergi.
Yah...
Hidup harus berjalan, hidup nggak bisa mundur. Hidup harus berjalan maju.
Aku
melihat ke arah salib yang tergantung di dinding. Tuhan, terimakasih. Untuk Kyoko, dan kekuatan baru buat kami...
-*-
“Akane...”
Wataru
menyapaku yang baru saja sampai di rumah. Okaasan
dan Otoosan melihatku dengan sedih.
“Aku
tahu. Aku tahu. Yah... Dia pergi. Dia nggak ada lagi di dunia ini...” aku
menjawab sambil berusaha menahan air mata.
Otoosan membelai rambutku. “Kami
sedih, Akane. Tapi kamu tahu? Kami lega, karena Kyoko telah bebas dari
penyakitnya,” kata Otoosan.
“Dan
kami tahu, bahwa keluarga Kyoko pasti dikuatkan,” kata Okaasan bijak.
Yah... Kyoko, terimakasih
untuk semuanya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar